Selasa, 15 Januari 2008

Memproteksi semen Kupang

Pos Kupang, 16 Januari 2008

MEDIA ini melansir bahwa sejak tanggal 1 Januari 2008, stok semen berbagai merek hilang dari pasaran di Kota Kupang. Selain langka, harga semen pun melonjak. Semen Bosowa, misalnya, harga per zak ukuran 50 kilogram, naik menjadi Rp 45 ribu dari harga sebelumnya Rp 35 ribu.
Khusus Semen Kupang sejak tiga minggu lalu tak beredar di pasaran. Begitu pula Semen Bosowa hilang di pasaran dalam dua pekan ini. Beberapa pemilik toko bangunan di Kota Kupang mengakui kelangkaan khusus pasokan semen dari Pulau Jawa terhenti menyusul kondisi laut yang tak memungkinkan pelayaran.
Sedangkan Semen Kupang belum diketahui, entah mengapa. Sampai sejauh ini manajemen Semen Kupang belum kita konfirmasi seputar menghilangnya semen kebanggaan daerah ini. Dalam konteks kelangkaan semen hingga kenaikan harga yang cukup melambung ini, barangkali kita bisa memaklumi kondisi cuaca yang tak memungkinkan. Karena itu kenaikan harga semen merupakan konsekuensi hukum pasar.
Jika kondisi alam terus memburuk sampai waktu yang lama, maka persoalan tentu menjadi lain. Harga akan terus meningkat. Dan, para spekulan akan memanfaatkan kondisi ini untuk meraup keuntungan. Di sinilah sebenarnya kekhawatiran kita. Konsumen akan mengalami tekanan harga yang tak main-main.
Karena itu kita mengharapkan agar aset kita, Semen Kupang, dapat berjalan kembali. Sebab industri semen satu-satunya di NTT ini hadir sebagai stabilisator, sebagai penyeimbang dan mengemban misi untuk memproteksi harga.
Jika cuaca dalam kondisi normal dan Semen Kupang masih "tidur" maka kita pun yakin bahwa harga akan terus naik. Sebab tak ada harga penyeimbang. Kita juga mencermati bahwa Semen Kupang yang lahir dan dikelola anak-anak NTT ini dijual dengan harga pasaran yang relatif lebih rendah dibanding dengan semen produksi luar NTT. Dari segi mutu dan kualitasnya memang tak berbeda jauh.
Pada waktu-waktu lampau, manajemen mengalami persoalan produksi karena perangkat mesin yang ada masih menggunakan produk lama. Namun sekarang ditunjang dengan perangkat yang modern, kualitas produksi sudah semakin baik.
Kita perlu mendorong agar manajemen PT Semen Kupang terus membenahi diri, memperbaiki pelayanan dengan cara terus berproduksi. Semen (Kupang) sudah menjadi kebutuhan pokok. Sama dengan kebutuhan akan air, listrik dan telepon. Setiap hari, bahkan setiap saat banyak konsumen yang membutuhkannya karena kegiatan pembangunan dilakukan tiap hari.
Jika manajemen mengalami persoalan, maka yang kita harapkan adalah adanya keterbukaan. Manajemen kita harapkan menjelaskan persoalan yang mungkin tengah dihadapi, kini. Sebagaimana perusahaan listrik negara (PLN) atau telkom yang menyatakan permintaan maaf dan menjelaskan persoalan yang dihadapi kepada pelanggan/konsumen jika jaringan mengalami kerusakan. Seperti inilah sebenarnya harapan semua pihak. Apalagi sebagaimana kita ketahui bersama, pada tahun 2007 lalu manajemen mendapat suntikan dana dari pemerintah pusat sebesar Rp 50 miliar. Barangkali kita butuh penjelasan secara detail dan transparan seputar penggunaan dana ini. Memang dari nilai dana itu rasanya masih jauh dari harapan untuk menyehatkan manajemen PT Semen Kupang.
Di sinilah sebenarnya semua kita membuka mata dan hati untuk melihat perjalanan industri semen kita ini. Dia hidup di daerah ini, namun daerah ini seakan memejamkan mata. Perhatian berupa suplai dana pun kita boleh katakan sangat kurang.
Beberapa waktu lalu muncul ide bahwa semua pemerintah kabupaten/kota di NTT "menitipkan" dana ke manajemen PT Semen Kupang dengan harapan terjadi pembenahan yang revolusioner di sana.
Namun, baik pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota tak pernah menyahut. Kita barangkali tak serta merta menyalahkan manajemen itu. Semua kita, pemerintah terutama harus menimba hikmah dari persoalan ini. Bahwa intinya ia membutuhkan suntikan dana. Jika tiap pemerintah kabupaten/kota menyumbang Rp 500 juta saja, maka kita yakin manajemen dapat "mengobati" dan menyehatkannya.
Dan, tentunya manajemen perlu me-report perkembangannya secara berkala kepada pemerintah propinsi/ kabupaten/kota. Semua ini tentu tak bisa lepas dari peran Dewan dalam mengapresiasi mata anggaran yang ditawarkan pemerintah. Semua ini dapat berjalan bila kita semua satu hati dan satu tekat. Inilah sebenarnya upaya kita melakukan proteksi terhadap Semen Kupang. *

Pendidikan, komoditi bisnis

Pos Kupang, 15 Januari 2008

PERILAKU materialisme dalam dunia pendidikan kini semakin menjadi-jadi. Mulai dari membisniskan sekolah dengan mengobyekkan para siswa sampai kepada praktik pada pengumpulan atribut, ijazah, dengan jalan pintas yang dipakai sebagai daya pegas untuk kenaikan pangkat. Semuanya berlangsung dimana materi, benda dan uang dianggap sebagai segalanya.
Praktik ini terjadi pada semua strata pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sudah menjadi wacana umum, di tingkat sekolah dasar, para pengelola menjalin hubungan khusus dengan penerbit tertentu untuk mendapatkan buku-buku pelajaran dan dijual kepada para siswa sebagai keharusan. Ada hubungan timbal balik yang saling mengutungkan meski anak didik harus 'diproyekkan.' Modus serupa pun dipraktekkan pada level sekolah menengah pertama dan atas. Semua ini memang kita perlukan dalam hidup tetapi jika kita serakah oleh perilaku materialisme, maka semuanya menjadi sumber bencana. Bencana moral, bencana sikap dan perilaku.
Di dunia perguruan tinggi, para aras pengelola maupun para penikmat ilmu, perilaku materialisme berkembang tak kalah maraknya. Pada poros publik, fenomena ini terlihat pada penerapan satuan kredit semester (SKS) yang dianggap merugikan mahasiswa karena kurang memperhatikan aspek pendidikan yang lebih luas, seperti pendidikan kepribadian, pendidikan nilai, pendidikan kepemimpinan dan sebagainya.
Ditingkat pengelola, sudah menjadi mode memperluas jaringan usaha dengan membuka pendidikan jarak jauh. Banyak orang pun tergiur. Motivasinya, mengumpulkan ijazah lebih banyak lagi meski kadar dan kualitas pengelolaannya masih jauh dari kesan profesional. Hasilnya pun menuai masalah seperti yang terjadi di Flores Timur. Ijazah para mahasiswa yang konon banyak berpredikat PNS tidak diakui BKN.
Hancurnya pendidikan nilai di perguruan tinggi bisa dirasakan dan dilihat pada langkanya kejujuran, ketertiban, kendali diri, pengorbanan, tanggung jawab dan kebersamaan, meski ada alumni yang benar-benar militan sebagai seorang intelek. Hal ini dapat diperburuk oleh penerapan sistem semester pendek yang lebih menekankan percepatan masa studi. Yang penting mendapat ijazah.
Menguatnya liberalisasi pendidikan tanpa fungsi kontrol yang memadai dari pemerintah, bahkan sangat lemah, membuka berbagai peluang dan kesempatan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan finansial, yang dinilai merugikan masyarakat pengguna jasa pendidikan, khususnya mereka yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas.
Indikasi liberalisasi pendidikan yang merugikan pengguna jasa pendidikan itu semakin menguat saat ini. Banyak penyelenggara pendidikan tinggi yang memperlakukan lembaga pendidikan sebagai proyek bisnis dimana pendidikan dijadikan komoditi. Uang kuliah dan pembangunan, misalnya, naik setiap tahun tidak berbanding lurus dengan membaiknya sarana dan prasarana yang harus dinikmati mahasiswa. Logikanya, uang kuliah naik, mahasiswa mendapat pelayanan yang signifikan. Yang dipertanyakan jika uang kuliah dan pembangunan naik, namun sarana dan prasarana perkuliahan tetap amburadul. Jika ini yang terjadi, orientasi perguruan tinggi itu adalah bisnis. Dengan demikian, mahasiswa dan para dosen pun cenderung berpikir secara bisnis.
Mengajar bagi para dosen sama seperti pekerjaan kantor lainnya, untuk mencari uang. Ada yang nyambi dengan berspekulasi terjun ke dunia politik. Bagi yang rezeki mendapatkan kursi di DPRD misalnya, ia pasti menanggalkan predikatnya sebagai dosen karena apa yang ditekuninya itu tak lebih dari 'kerja bakti.'
Mahasiswapun melakukan perhitungan bisnis. Belajar baginya semata-mata untuk mendapatkan ijazah secepat mungkin dengan mengeluarkan biaya (SPP) serendah mungkin.
Liberalisasi pendidikan juga terlihat dengan dijadikannya lembaga pendidikan tinggi sebagai pasar tempat menjual buku, diklat, modul, komputer dan sebagainya. Mahasiswa yang tidak membeli buku atau diktat, meski pintar dan mengerjakan soal-soal ujian dengan baik, mendapat nilai nol kaboak. Sebaliknya, mahasiswa yang membeli buku, diklat, meski tidak belajar, harus lulus dengan nilai tiga atau empat. Nilai balas jasa.
Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang berfungsi menjaga standar pendidikan, khususnya di perguruan tinggi, harus melakukan pengawasan ketat terhadap penyelenggaraan kelas jarak jauh agar tidak merugikan masyarakat. Selama ini, BAN dinilai kurang berfungsi karena hasil akreditasi terkadang dilihat tidak sesuai kenyataan di lapangan. Dari sinilah sumber bencana pendidikan itu terjadi dan menggurita. *

Pemberantasan korupsi hanya hiasan bibir

Pos Kupang, 14 Januari 2008

SEJAK era reformasi mulai menggelinding tahun 1998 lalu, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu isu pokok yang harus diperangi. Harapan untuk memerangi korupsi itu tidak hanya menjadi tekad segelintir orang, tetapi merupakan tekad seluruh masyarakat Indonesia. Harapan itu tentunya diletakkan di atas pundak para penegak hukum kita.
Masyarakat NTT pun memimpikan terwujudnya harapan memerangi berbagai bentuk praktik KKN di daerah ini. Harapan masyarakat ini disahuti aparat penegak hukum di daerah ini. Aparat penegak hukum (penyidik kejaksaan dan kepolisian) sejak beberapa tahun lalu tampak gencar melakukan penyelidikan dan penyidikan berbagai kasus korupsi yang terjadi di daerah ini. Mulai dari kasus yang melibatkan para pejabat pemerintah sampai kasus yang melibatkan para pengusaha/kontraktor. Bahkan satu kasus belum selesai, mereka 'mengejar' kasus lainnya dan seterusnya.
Sikap proaktif, atau jemput bola yang ditunjukkan aparat kejaksaan dan kepolisian dalam menyelidiki berbagai kasus korupsi ini dapat dimengerti. Sebab, tekad memberantas atau memerangi berbagai bentuk tindak pidana korupsi ini bukan hanya menjadi tekad orang perorangan, tetapi menjadi tekad lembaga penegak hukum. Karena menjadi sikap lembaga, maka konsekuensinya, semua aparat yang berada di lembaga penegak hukum, mulai dari tingkat pusat sampai daerah harus 'mengamankan' tekad lembaga ini.
Tapi, apakah tekad lembaga dan harapan masyarakat itu sudah terwujud? Jawabannya belum. Jujur diakui bahwa apa yang dilakukan aparat penegak hukum saat ini masih jauh dari harapan. Belum satu antara kata dan perbuatan. Tekad untuk memerangi atau memberantas korupsi hanya sekadar slogan atau hiasan bibir semata. Bekerja profesional, serius, tuntas, sungguh-sungguh dan masih banyak kata-kata 'penghibur' lainnya dalam memerangi kasus korupsi hanya mengelabui masyarakat pencari keadilan, tanpa diikuti hasil nyata. Banyak kasus korupsi yang masuk dan diproses di kepolisian dan kejaksaan, tapi hanya sedikit yang sampai pengadilan hingga vonis hakim.
Sedikitnya kasus yang sampai ke pengadilan, diduga karena banyak kasus yang kabur air dan lenyap di tingkat penyelidikan dan penyidikan. Atau ada kasus besar yang terkesan masih serius ditangani, tapi sebetulnya penanganannya stagnan, antara dilanjutkan atau tidak dilanjutkan. Penanganannya hanya sampai penetapan satu dua tersangka, kemudian terhenti. Selanjutnya, penetapan status itu menjadi tempat 'main-main' sehingga status tersangka yang disandang seseorang kerap sampai bertahun-tahun.
Kondisi ini berlaku umum di negeri ini. Di NTT juga demikian. Tanpa bermaksud curiga atau mengurangi hasil kerja aparat di daerah ini, ada begitu banyak kasus dugaan korupsi yang sudah diproses aparat penyidik (kejaksaan dan kepolisian) selama ini, tapi belum menunjukkan hasilnya. Bahkan proses hukum kasus dugaan korupsi itu ada yang sudah beberapa kali berulang tahun.
Kita bisa menyebutkan beberapa contoh kasus dugaan korupsi yang penanganannya tersendat-sendat, sudah berulang tahun, bahkan terkesan 'mengendap' begitu saja di lembaga hukum. Di Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, misalnya, ada beberapa kasus besar yang sampai saat ini proses hukumnya belum tuntas-tuntas. Di antaranya kasus dugaan korupsi proyek ring road Kota Kefamenanu, kasus dugaan korupsi pengadaan inventaris kantor di Bank NTT, kasus dugaan korupsi dana bencana alam di Dinas Kimpraswil Kota Kupang, kasus dugaan korupsi SPPD fiktif di Dinas Nakertrans NTT, kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kapal ikan di Kota Kupang, kasus dugaan korupsi pembangunan reservoir UPTD Air Bersih Dinas Kimpraswil Kota Kupang, kasus dugaan korupsi dana APBD Kota Kupang senilai Rp 16 miliar, kasus PPIP di Kecamatan Amabi Oefeto, kasus dugaan pemerasan oleh TS Hasibuan, jaksa di Kejati NTT, kasus dugaan pemerasan terhadap pengusaha pakaian rombengan oleh oknum jaksa di Kejati NTT, serta berbagai kasus dugaan korupsi lainnya.
Begitu juga yang terjadi di Polda NTT. Kita bisa menyebut beberapa kasus, di antaranya kasus sarkes di Dinkes NTT, kasus kapal ikan di Kabupaten Kupang, kasus pembangunan gedung baru Bank NTT, kasus dana purna bakti DPRD Kota Kupang, kasus proyek kayu jati emas di Kabupaten Kupang, kasus dana terminasi di Kabupaten Kupang, kasus dana pilkada di KPUD Kota Kupang serta berbagai kasus lainnya. Kita berharap di tahun 2008 ini, aparat penegak hukum kita bekerja lebih serius lagi sehingga kasus-kasus yang sudah berulang tahun bisa dituntaskan. *