Senin, 26 Oktober 2009

Menuju Indonesia Bebas Narkoba: Orang Sakit Kok Dipenjara? (3)

Oleh: Kanis Jehola

LAIN Tarman Azzam, lain Bambi Abimayu dan Sumirat Dwiyanto. Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani, SpKJ (K) yang membawakan materi tentang Terapi dan Rehabilitasi bagi Pasien Ketergantungan Narkoba tampil beda dari narasumber lainnya. Mengawali pemaparannya, ia mengkritik sikap dan pola pemberitaan pers selama ini serta sikap pemerintah terhadap para pecandu dan pengedar narkoba.
Direktris Yayasan Suryani Institute for Mental Health, Denpasar-Bali ini lalu beringsut dari tempat duduknya. "Maaf Pak, saya lebih baik berdiri saja," katanya memohon izin peserta. Setelah membacakan curriculum vitae-nya, ia pun mulai melancarkan kritikannya.
Menurutnya, pers belum begitu memberikan perhatian yang serius terhadap masalah narkoba selama ini. Berita narkoba sering dinilai sebagai berita yang tidak seksi, kurang laku dijual, dan terlebih tidak ada uangnya.
Suryani kemudian menceritakan pengalamannya selama memimpin lembaganya. Selama ini ia sering mengundang wartawan untuk meliput dan menulis tentang kegiatan mereka dalam mendampingi para pecandu narkoba. Tapi tidak banyak wartawan yang datang dan mau menulis. "Saya maklumi karena menulis kegiatan kami (narkoba) tidak ada uangnya. Beda dengan pemerintah atau lembaga lainnya, ada kegiatan berarti ada uang," katanya sinis.
Kalaupun masih ada satu dua orang wartawan yang mau menulis meskipun tidak ada uangnya, kata Suryani, namun judul tulisannya pun menyeramkan, menakutkan. Misalnya, polisi membekuk pecandu narkoba, pecandu narkoba dihukum sekian tahun. "Wah, judul itu sangat menakutkan, tapi bukan untuk membuat orang menjadi jera dan menjauhi narkoba," katanya.
Selain mengritik pers, Suryani juga mengritik pemerintah. Dikatakannya, perhatian pemerintah terhadap masalah narkoba, khususnya para pecandu narkoba selama ini masih kurang. "Selama ini, pemerintah hanya memikirkan pembangunan fisik. Pemerintah tidak pernah memikirkan kesehatan mental," katanya.
***
LALU, bagaimana pola penanganan terhadap pecandu narkoba sesuai pandangan Suryani? Suryani yang mendirikan yayasannya tahun 2005 dengan visi: Menyehatkan Masyarakat Sehat dengan Pendekatan Biopsikospirit-Sosiobudaya, mengatakan, berdasarkan hasil identifikasi selama pendampingan mereka selama ini, para pemakai narkoba itu umumnya berasal dari keluarga broken home. Mereka memakai narkoba sebagai salah satu bentuk pelarian dari masalah, dan ingin mendapat tantangan. Para pemakai ini ada yang berasal dari golongan menengah ke atas. Ada dari golongan menengah ke bawah, dan ada anak kurang pandai dan tidak terpelajar. Mereka umumnya masih berusia remaja.
Menurutnya, ada beberapa alasan yang mendorong mereka memakai narkoba. Antara lain remaja ingin menentang atau berontak terhadap peraturan dan lingkungan, ingin mendapatkan kedamaian, kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi, serta stres yang tidak bisa diatasi.
"Jadi, faktor yang mendorong orang memakai narkoba bukan karena ada pengedarnya, lingkungannya atau orangtuanya menggunakan narkoba, tapi karena adanya keinginan dari dalam diri pengguna itu sendiri. Keinginan dari dalam diri itu dipicu oleh rasa keingintahuan, dan adanya masalah yang ada padanya.
Remaja menggunakan narkoba karena dia ingin menentang apa yang tidak boleh dia lakukan, karena stress, ingin mencari kedamaian, dan berbagai sebab lainnya. Karena itu, pada usia 10 tahun pertama, anak-anak harus diberikan kenyamanan, diberikan kasih sayang dan kebutuhan hidupnya harus terpenuhi," kata Suryani.
Itu sebabnya Suryani tidak setuju kalau para pecandu narkoba itu dihukum atau dipenjara. Menghukum atau memenjarakan para pecandu narkoba dinilainya tidak akan memecahkan masalah. "Orang sakit kok dipenjara," katanya.
Menurutnya, cara terbaik yang dilakukan untuk mencegah para pecandu narkoba ialah dengan cara persuasif. Para pecandu narkoba harus dipulihkan di panti terapi dan rehabilitasi. "Dipenjara tidak akan membuat pecandu kembali sehat dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya," katanya.
Pola penanganan saat pecandu masuk panti rehabilitasi dilakukan dengan pendekatan Re-Frame Memory, yakni mengembalikan memori para pecandu agar kembali sehat dan baik seperti semula. Sehat dalam konteks ini adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Re-Frame Memory itu dilakukan dengan mengikutsertakan para pecandu narkoba dalam berbagai kegiatan. Misalnya kegiatan olahraga, rekreasi ke tempat-tempat wisata, ke hutan lindung, menikmati keindahan alam, kegiatan organisasi, kegiatan seni dan budaya, meditasi dua kali sehari, relaksasi dan kegiatan- kegiatan positif lainnya. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, para pecandu diharapkan dapat menemukan jati dirinya sehingga bisa kembali ke jalan yang benar.
Kalakhar (Kepala Pelaksana Harian) BNN, Komjen Drs. Gories Mere, mengatakan, pemikiran Ny. Suryani itu sejalan dengan keinginan BNN. Itu sebabnya, pada tanggal 18 Februari 2009, para petinggi BNN yang dipimpinnya bertemu dengan Mahkamah Agung (MA), Harifin A Tumpa, untuk membicarakan masalah ini. Perjuangan BNN ini membuahkan hasil. Tanggal 17 Maret 2009, Ketua MA meminta agar para hakim di tingkat pengadilan tinggi dan negeri tidak buru-buru memvonis hukuman penjara bagi terpidana pemakai narkoba, melainkan bisa dikirim ke panti terapi dan rehabilitasi.
Menurut Tumpa, dalam Surat Edaran Nomor 07 Tahun 2009, sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban. Jika dilihat dari aspek kesehatan, mereka sesungguhnya orang- orang sakit. Karena itu, memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.
"Sejatinya pengguna narkoba itu adalah korban. Mereka harus direhabilitasi dan dipulihkan, bukan dipenjara. Kalau dipenjara, mereka malah tak akan sembuh-sembuh," kata Kepala Pusat Pencegahan BNN, Brigjen Polisi Anang Iskandar. (habis)

Minggu, 25 Oktober 2009

Menuju Indonesia Bebas Narkoba: Bongkar dan Putuskan Rantai Peredarannya (2)

Laporan Kanis Jehola

BAHAYA narkoba saat ini tidak bisa dianggap sebagai masalah sepele. Makin hari makin banyak warga bangsa ini yang menjadi pecandu narkoba. Masalah ini tidak lagi hanya menjadi masalah bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Tapi kini sudah menyebar sampai ke semua kabupaten/kota di Indonesia. Bahkan telah sampai di tingkat rumah tangga.
Dana yang dihabiskan untuk mengurus masalah ini pun terus bertambah. Itu sebabnya Sekretaris BNN, Bambi Abimayu ketika menjadi moderator dalam diskusi panel Forum Silaturahmi Media Massa Anti Narkoba di Puri Saron Hotel, Seminyak, Kuta-Bali, Senin (5/10/2009), menyatakan bahaya narkoba merupakan salah satu musuh besar bangsa ini. Karena itu, kita semua, termasuk pers, harus bersama-sama memeranginya.
Mengapa bahaya narkoba menjadi musuh besar bangsa? Bambi Abimayu tentu punya alasan. Narkoba ternyata tak hanya menyebabkan 40 orang meninggal secara sia-sia setiap harinya atau 15.000 orang pertahun. Tapi peredaran barang haram yang kian gencar dan marak ini telah membuat bangsa ini mengalami kerugian ekonomi yang begitu besar. Setiap tahun nilai kerugian yang harus ditanggung bangsa ini akibat peredaran dan penyalahgunaan narkoba terus melonjak.
Berdasarkan Laporan Survai Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia: Studi Kerugian Ekonomi dan Sosial Akibat Narkoba Tahun 2008 yang dilakukan BNN dengan Pusat Penelitian Kesehatan UI, kerugian biaya ekonomi akibat narkoba pada tahun 2008 mencapai Rp 32,4 triliun. Sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan angka kerugian akibat narkoba pada tahun 2008 mencapai Rp 39 triliun. Kerugian tersebut termasuk kerugian pribadi sebesar Rp 34,8 triliun dan kerugian sosial yang diderita negara sebesar Rp 4,6 triliun.
Masih menurut hasil studi BNN dan UI, angka kerugian akibat narkoba pada tahun 2013 (dengan prediksi tingkat inflasi sebesar enam persen) diperkirakan akan melonjak hampir dua kali lipat, yakni Rp 57 triliun. PPATK malah memprediksi, kerugian ekonomi akibat narkoba pada 2013 mendatang bisa menyentuh angka Rp 60 triliun. Jika penanganan dan penanggulangan masalah ini tidak ditangani secara serius, maka potensi kerugian ekonomi yang terjadi akan jauh lebih besar dari yang diperkirakan.
Guna mencegah berkembangnya masalah narkoba dan mewujudkan cita-cita Indonesia Bebas Narkoba Tahun 2015, BNN kini tidak hanya melakukan kebijakan dengan pendekatan berbasis media massa.
Saat ini BNN telah membangun sebuah strategi berupa memperluas jaringan komunikasi yang berbasis masyarakat. BNN juga merangkul serta melakukan kerja sama dengan elemen-elemen lain yang dinilai potensial dalam melaksanakan P4GN ini. Kerja sama dengan elemen-elemen lain itu dilakukan dengan membangun jaringan berbasis keluarga, berbasis sekolah, berbasis tempat kerja, berbasis institusi, berbasis organisasi dan berbasis masyarakat. Juga menggelar lomba kampung bebas narkoba di Surabaya Jawa Timur. Sedikitnya 200 kampung ikut dalam lomba ini.
Upaya nyata lainnya yang telah dilakukan BNN saat ini ialah dengan menggandeng pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membongkar dan memutus rantai peredaran narkoba di tanah air. Berbagai operasi telah digelar dengan melibatkan berbagai pihak di dalam negeri dan luar negeri. Meski diakui bahwa tindakan tegas itu tak serta merta menurunkan angka kasus narkoba di Indonesia.
***
SELAIN operasi yang tak kenal lelah, bersama dengan negara ASEAN lainnya melalui gerakan Drug Free ASEAN (ASEAN Bebas Narkoba 2015) , Indonesia telah mengikrarkan diri untuk bebas dari narkoba pada tahun 2015. Ikrar itu telah dideklarasikan dalam rapat pejabat tingkat tinggi ASEAN untuk Narkoba pada 1-2 Agustus 2006 di Chiang Mai Thailand.
Ikrar bebas narkoba itu bukan hanya sebuah slogan tanpa aksi. Karena masalah narkoba juga berkaitan dengan jaringan internasional/antarnegara, maka pihak BNN juga telah melakukan upaya kerja sama dengan negara lain. Implementasinya, baru-baru ini BNN telah mensponsori pertemuan dengan para Kepala Badan Penegak Hukum Anti Narkoba se Asia dan Pasifik (Heads of National Drugs Law Enforcement Agencies Asia And The Pasific/Honlap) di Hotel Kartika Discovery, Kuta-Bali, 6-9 Oktober 2009. Honlap merupakan forum pertemuan yang bertujuan untuk saling menukar informasi serta memajukan kerja sama penegakan hukum dalam mencegah dan memberantas perdagangan gelap narkoba di kawasan Asia dan Pasifik.
Dalam pertemuan empat hari yang dihadiri delegasi 21 negara dengan tiga organisasi internasional (dari 53 negara anggota, sembilan negara asosiasi dan sejumlah negara peninjau dan organisasi internasional), dilaksanakan diskusi kelompok kerja dengan tiga tema utama, yakni tren perdagangan narkotika di kawasan Asia dan Pasifik, upaya memberantas produksi narkotika jenis amphetamine-type stimulantas (ATS), dan upaya menghilangkan keuntungan perdagangan narkotika.
Diskusi tiga tim itu bermuara pada kesimpulan dan rekomendasi, antara lain pentingnya peningkatan kerja sama antarnegara di kawasan Asia dan Pasifik, serta penyelarasan prosedur standar operasi yang terkait dengan pemberantasan pergerakan narkotika yang melintasi batas negara.
Rekomendasi lain yang dihasilkan adalah peningkatan pertukaran informasi antarnegara dan perhatian khusus terhadap sindikasi pengedar narkotika yang berasal dari kawasan Afrika Barat. Sindikasi asal Afrika Barat ini beroperasi melintasi batas negara sehingga untuk menanganinya diperlukan kerja sama, pertukaran data, dan komunikasi yang intensif antaraparat penegak hukum anti narkotika dari tiap negara di kawasan Asia dan Pasifik.
Terkait upaya meningkatkan kerja sama dalam penanggulangan produksi gelap ATS, negara-negara se Asia dan Pasifik sepakat untuk memperketat upaya pengawasan prekursor, mengantisipasi peningkatan penyitaan prekursor dan cara penanganannya. Sedangkan untuk menghilangkan keuntungan dari perdagangan gelap narkoba, disepakati untuk meningkatkan legislasi dan regulasi terkait perampasan aset tanpa adanya tuntutan pidana. (bersambung)

Jumat, 23 Oktober 2009

Menuju Indonesia Bebas Narkoba: Pers Harus Dirangsang (1)

Oleh Kanis Jehola



HARI Senin, 5 Oktober 2009 pukul 09.30 Wita. Mentari di Kuta-Bali panas menyengat, membakar kulit. Lima meter dari tempat kami melaksanakan kegiatan, para bule dengan pakaian seadanya terlihat asyik merendam badan di kolam renang. Ada yang duduk-duduk di kursi bersama anak. Ada yang tidur terlentang bersama pasangan di atas bale-bale yang sudah disediakan pengelola hotel di pinggir kolam itu. Mereka tampak santai menikmati minuman kaleng sambil memandang gulungan ombak Pantai Kuta.
Di ruang Mawar lantai II yang ada di salah satu dari tujuh bangunan megah Puri Saron Hotel, Seminyak, Kuta-Bali, berkumpul sekitar 40 orang wartawan. Mereka dari media cetak dan media elektronik. Para wartawan ini mengitari beberapa meja yang sudah disediakan panitia di ruang berukuran sekitar 9 x 10 meter itu. Satu meja untuk empat orang peserta.
Kehadiran para wartawan di tempat ini adalah atas undangan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mensponsori kegiatan Forum Silaturahmi Media Massa Anti Narkoba. Pertemuan di Bali ini merupakan yang kedua. Pertama dilakukan di Jakarta, Juli 2008 lalu.
Pertemuan kedua yang mengusung tema: "Pemberdayaan Media Massa dalam Mewujudkan Indonesia Bebas Narkoba 2015" itu sangat berbeda dengan pertemuan pertama di Hotel Sahid Jakarta tahun lalu. Perbedaan itu tidak hanya suasananya. Tapi juga jumlah peserta yang hadir.
Jika pada pertemuan pertama dihadiri artis, sejumlah duta anti narkoba dan para petinggi BNN, pertemuan kali ini sedikit lain. Tak satu pun duta narkoba yang hadir. Para petinggi BNN pun hanya diwakili Sekretaris BNN, Bambi Abimayu, dan Kabag Humas merangkap Ketua Panitia Penyelenggara, Drs. Sumirat Dwiyanto, M.Si, yang membawakan materi Kalakhar BNN, Drs. Gories Mere, serta dua orang staf sekretariat, Yessy, dan seorang rekannya. Juga hadir dua nara sumber dari luar BNN, yakni Drs. Tarman Azzam, dan Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani, SpKJ (K). Jumlah wartawan peserta pun lebih sedikit dibanding pada pertemuan pertama.
Pertemuan kali ini lebih banyak menceritakan atau mensosialisasikan program kerja yang telah, sedang dan akan dilakukan BNN dalam rangka P4GN guna terwujudnya Indonesia Bebas Narkoba pada tahun 2015. Lantas, mengapa para pekerja pers ini diundang untuk menghadiri acara ini?
***
SAMA seperti pada pertemuan pertama di Jakarta tahun lalu, dalam pertemuan kedua ini BNN ingin menegaskan kembali harapannya agar media massa terus meningkatkan komitmennya dalam upaya pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN) guna terwujudnya cita-cita besar itu. Harapan meningkatkan komitmen ini makin terus digelorakan karena jumlah kasus narkoba saat ini terus meningkat.
Sekadar contoh, pada tahun 2003 tercatat 7.140 kasus narkoba dengan jumlah tersangka 9.717 orang. Namun, pada tahun 2008 jumlahnya melonjak menjadi 29.359 kasus dengan jumlah tersangka 44.694 orang. Dan, khusus Januari sampai Juni 2009 telah terungkap 13.958 kasus dengan jumlah tersangka 17.910 orang. Kelompok usia yang menjadi penyalahguna terbesar adalah kelompok di atas 29 tahun, yakni sebanyak 82.338 orang pada periode 2003-Juni 2009.
Meningkatnya jumlah kasus ini ditengarai karena tingkat pengetahuan sebagian besar masyarakat Indonesia akan bahaya narkoba masih tergolong rendah. Akses masyarakat dalam memperoleh informasi tentang bahaya narkoba masih sangat terbatas. Kondisi ini sangat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan/pelosok. Selain karena terbatasnya fasilitas teknologi, juga kurangnya komitmen pemerintah daerah serta elemen-elemen masyarakat yang ada.
Dalam konteks inilah peran media massa sangat penting. Media massa yang memiliki potensi untuk menyebarluaskan informasi dan pengetahuan mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam pencegahan bahaya penyalahgunaan narkoba. Lebih dari itu, media massa dinilai mampu mengarahkan pola pikir dan pandangan masyarakat dalam memahami bahaya narkoba, dan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah.
"Melalui forum ini, kami berharap dapat terbangun komitmen dan konsistensi serta social responsibility media massa terhadap masalah narkoba guna menyelamatkan anak-anak bangsa kita dari kehancuran akibat penyalahgunaan narkoba," kata Kalakhar BNN, Gories Mere, dalam materinya yang dipaparkan Sumirat Dwiyanto.
Ketua Dewan Kehormatan PWI, Drs. Tarman Azzam, yang membawakan materi tentang "Partisipasi Pers dalam P4GN Sebagai Bentuk Tanggung jawab Sosial" mengatakan, selama ini pers telah aktif dalam memerangi narkoba dengan aktif meliput berita anti narkoba. Namun diakuinya, peran pers belum maksimal karena pers sendiri mempunyai keterbatasan dalam melawan bahaya universal ini.
Tarman mengatakan, untuk mewujudkan cita-cita besar itu maka potensi pers harus dimanfaatkan. Ketidakmampuan memanfaatkan potensi pers, apalagi salah menggunakannya, bukan hanya merugikan pemerintah dan kegagalan anti narkoba, tapi dapat menjadi bumerang yang dapat merusak kehidupan nasional.
Agar bisa memanfaatkan potensi pers, maka pemerintah dan publik, termasuk BNN, harus mampu bersinergi dengan pers. "Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak membangun sinergi dengan pers, apalagi jika sampai bersikap takut dan tidak bersahabat dengan pers," katanya.
Tak hanya bersinergi. Menurut Tarman, pers juga harus dirangsang agar mau meliput dan menulis berita anti narkoba sebanyak mungkin. Untuk merangsang pers, Tarman mengusulkan beberapa cara, antara lain melakukan dialog atau melakukan kunjungan ke berbagai obyek, menggelar diskusi, seminar, lokakarya, dan sarasehan, penyebarluasan buku, brosur, buletin dan online, serta menggelar lomba karya jurnalistik. Juga memberi penghargaan kepada media/publik yang berjasa/berprestasi. (bersambung)

Jumat, 02 Oktober 2009

Lahirnya BLUD Air Minum: Masyarakat Wajib Mengawas (3)

Oleh Kanis Jehola

MESKI kewenangan pengambilalihan pelayanan berada di tangan BLUD, namun penggunaan kewenangan itu merupakan sesuatu yang tidak diharapkan. Kewenangan itu merupakan pilihan akhir yang mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus 'dieksekusi' tatkala pihak operator atau perusahaan daerah sudah tidak bisa lagi memperbaiki kinerja pelayanannya.
Secara normatif, kriteria penilaian kinerja pelayanan PDAM untuk menentukan apakah perusahaan itu sehat atau tidak sehat, bisa dilihat dari cakupan pelayanannya. Makin besar pelayanan perusahaan daerah makin besar kinerjanya.
Aspek lainnya yang dinilai adalah berkaitan dengan upaya manajemen perusahaan dalam mengoptimalkan kinerja perusahaan. Juga dilihat dari neraca penjualan dan penerimaan hasil penjualan air, serta tingkat kebocoran yang ditoleransi. "Tingkat kebocoran yang ditoleransi di bawah 20 persen, lebih dari itu berarti tidak baik," kata Kepala Dinas PU NTT, Ir. Andre W Koreh, MT, kepada Pos Kupang, pertengahan September lalu.
Untuk memantau dan pengawasi kerja pihak operator, secara informal di setiap PDAM nantinya akan dibentuk badan pengawas. Personel badan pengawas ini akan diambil dari perusahaan sendiri dan juga dari tokoh masyarakat. Tugasnya mengawasi dan mengevaluasi kinerja perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan air minum. Hasil evaluasi badan pengawas disampaikan ke BLUD. Bahan evaluasi badan pengawas itu akan dijadikan dasar bagi BLUD dalam melakukan evaluasi terhadap kinerja PDAM.
Selain pengawas informal, juga ada pengawas independen dari masyarakat. "Jadi, pengawasan terhadap kerja perusahaan daerah tidak hanya dilakukan oleh pengawas informal, tapi juga oleh masyarakat. Masyarakat yang independen juga wajib mengawasi perusahaan daerah dan pengawasan masyarakat ini sangat perlu," kata Andre.
Dibentuknya badan pengawas informal ini tidak untuk menakut-nakuti para pengelola perusahaan daerah. Sasaran utamanya untuk memperbaiki kinerja pelayanan perusahaan daerah kepada para pelanggan sehingga masyarakat pelanggan yang mendapat pelayanan perusahaan memperoleh kepuasan. Lebih dari itu, target pencapaian Millenium Development Goals (MDG's) agar pada tahun 2013 sekitar 80 persen masyarakat Kota Kupang bisa dilayani air minum bisa terpenuhi.
***
BAGAIMANA respons dari dua perusahaan daerah (PDAM) di Kota Kupang terhadap pembentukan BLUD ini. "Pada prinsipnya solusi yang dibuat Pemprop NTT itu kami dukung. Namun hal itu perlu disosialisasikan kepada kami, terutama mengenai hak dan kewajiban," kata Kabag Humas dan Pelanggan PDAM Kabupaten Kupang, Yusuf K Nope, kepada Pos Kupang, Rabu (16/9/2009).
Sebagai respons atas tantangan tersebut, dua perusahaan daerah (PDAM) di Kota Kupang tidak tinggal diam. Kini, dua perusahaan itu dengan caranya masing-masing sedang berusaha memperbaiki pelayanan kepada para pelanggan.
Khusus untuk PDAM Kabupaten Kupang, beberapa bulan lalu pihak perusahaan gencar melakukan sensus pelanggan dan mendata kebocoran. Tindak lanjut dari sensus itu, saat ini pihak manajemen sudah mulai secara bertahap memperbaiki jaringan pipa yang bocor. Tidak hanya itu, pihak perusahaan juga mengganti alat ukur/meteran pelanggan yang rusak. "Khusus untuk pergantian meteran pelanggan, kami lakukan secara cuma-cuma tanpa dipungut biaya," kata Nope berpromosi.
Selain memperbaiki jaringan pipa yang bocor, pihak manajemen juga sedang gencar membuka loket-loket pelayanan pembayaran rekening air di setiap kelurahan. Baru- baru ini PDAM Kabupaten Kupang telah membuka satu loket pelayanan di Kantor Kelurahan Bakunase yang akan mulai beroperasi tanggal 6 Oktober ini. Sekarang juga sedang dijajaki untuk membuka loket pelayanan pembayaran rekening air di bundaran PU.
Hingga saat ini pihak PDAM Kabupaten Kupang sudah membuka delapan loket pelayanan pembayaran rekening air pelanggan di Kota Kupang. Pembukaan loket pelayanan itu merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk mendekatkan dan meningkatkan pelayanan kepada para pelanggan.
Lain dengan PDAM Kota Kupang. Untuk meningkatkan pelayanan kepada para pelanggan, perusahaan yang dinakhodai Noldy P Mumu, ST, ini kini sedang menjajaki kerja sama dengan PT Telkomsel. Kerja sama ini terkait kemungkinan pelanggan bisa mengetahui biaya pemakaian airnya melalui layanan short message service (SMS). Tujuannya agar pelanggan dapat mengetahui biaya yang disiapkan sebelum mendatangi loket pembayaran air.
Layanan SMS ini tidak hanya berkaitan dengan biaya pemakaian air, tapi juga meliputi pengaduan tentang kerusakan pipa, meteran ataupun layanan air minum yang kurang baik. Untuk layanan pengaduan, petugas PDAM membuka layanan melalui on line. Setiap pengaduan yang disampaikan melalui layanan SMS maupun on line langsung ditindaklanjuti dengan melakukan langkah perbaikan.
Saat ini, aset PDAM Kota Kupang mencapai Rp 20.605.695.772. Dana tersebut dialokasikan untuk lima jenis investasi, yakni investasi sumber air dan instalasi pipa, instalasi transmisi dan distribusi, pengadaan peralatan dan sarana, kendaraan bermotor dan kegiatan perencanaan, pengawasan dan pengembangan sarana. Langkah konkrit dari investasi tersebut, saat ini juga telah dibangun beberapa reservoir dan pembenahan jaringan pipa distribusi. Semua itu dilakukan dalam rangka perbaikan pelayanan kepada para pelanggan. (habis)