Selasa, 15 Januari 2008

Pendidikan, komoditi bisnis

Pos Kupang, 15 Januari 2008

PERILAKU materialisme dalam dunia pendidikan kini semakin menjadi-jadi. Mulai dari membisniskan sekolah dengan mengobyekkan para siswa sampai kepada praktik pada pengumpulan atribut, ijazah, dengan jalan pintas yang dipakai sebagai daya pegas untuk kenaikan pangkat. Semuanya berlangsung dimana materi, benda dan uang dianggap sebagai segalanya.
Praktik ini terjadi pada semua strata pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sudah menjadi wacana umum, di tingkat sekolah dasar, para pengelola menjalin hubungan khusus dengan penerbit tertentu untuk mendapatkan buku-buku pelajaran dan dijual kepada para siswa sebagai keharusan. Ada hubungan timbal balik yang saling mengutungkan meski anak didik harus 'diproyekkan.' Modus serupa pun dipraktekkan pada level sekolah menengah pertama dan atas. Semua ini memang kita perlukan dalam hidup tetapi jika kita serakah oleh perilaku materialisme, maka semuanya menjadi sumber bencana. Bencana moral, bencana sikap dan perilaku.
Di dunia perguruan tinggi, para aras pengelola maupun para penikmat ilmu, perilaku materialisme berkembang tak kalah maraknya. Pada poros publik, fenomena ini terlihat pada penerapan satuan kredit semester (SKS) yang dianggap merugikan mahasiswa karena kurang memperhatikan aspek pendidikan yang lebih luas, seperti pendidikan kepribadian, pendidikan nilai, pendidikan kepemimpinan dan sebagainya.
Ditingkat pengelola, sudah menjadi mode memperluas jaringan usaha dengan membuka pendidikan jarak jauh. Banyak orang pun tergiur. Motivasinya, mengumpulkan ijazah lebih banyak lagi meski kadar dan kualitas pengelolaannya masih jauh dari kesan profesional. Hasilnya pun menuai masalah seperti yang terjadi di Flores Timur. Ijazah para mahasiswa yang konon banyak berpredikat PNS tidak diakui BKN.
Hancurnya pendidikan nilai di perguruan tinggi bisa dirasakan dan dilihat pada langkanya kejujuran, ketertiban, kendali diri, pengorbanan, tanggung jawab dan kebersamaan, meski ada alumni yang benar-benar militan sebagai seorang intelek. Hal ini dapat diperburuk oleh penerapan sistem semester pendek yang lebih menekankan percepatan masa studi. Yang penting mendapat ijazah.
Menguatnya liberalisasi pendidikan tanpa fungsi kontrol yang memadai dari pemerintah, bahkan sangat lemah, membuka berbagai peluang dan kesempatan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan finansial, yang dinilai merugikan masyarakat pengguna jasa pendidikan, khususnya mereka yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas.
Indikasi liberalisasi pendidikan yang merugikan pengguna jasa pendidikan itu semakin menguat saat ini. Banyak penyelenggara pendidikan tinggi yang memperlakukan lembaga pendidikan sebagai proyek bisnis dimana pendidikan dijadikan komoditi. Uang kuliah dan pembangunan, misalnya, naik setiap tahun tidak berbanding lurus dengan membaiknya sarana dan prasarana yang harus dinikmati mahasiswa. Logikanya, uang kuliah naik, mahasiswa mendapat pelayanan yang signifikan. Yang dipertanyakan jika uang kuliah dan pembangunan naik, namun sarana dan prasarana perkuliahan tetap amburadul. Jika ini yang terjadi, orientasi perguruan tinggi itu adalah bisnis. Dengan demikian, mahasiswa dan para dosen pun cenderung berpikir secara bisnis.
Mengajar bagi para dosen sama seperti pekerjaan kantor lainnya, untuk mencari uang. Ada yang nyambi dengan berspekulasi terjun ke dunia politik. Bagi yang rezeki mendapatkan kursi di DPRD misalnya, ia pasti menanggalkan predikatnya sebagai dosen karena apa yang ditekuninya itu tak lebih dari 'kerja bakti.'
Mahasiswapun melakukan perhitungan bisnis. Belajar baginya semata-mata untuk mendapatkan ijazah secepat mungkin dengan mengeluarkan biaya (SPP) serendah mungkin.
Liberalisasi pendidikan juga terlihat dengan dijadikannya lembaga pendidikan tinggi sebagai pasar tempat menjual buku, diklat, modul, komputer dan sebagainya. Mahasiswa yang tidak membeli buku atau diktat, meski pintar dan mengerjakan soal-soal ujian dengan baik, mendapat nilai nol kaboak. Sebaliknya, mahasiswa yang membeli buku, diklat, meski tidak belajar, harus lulus dengan nilai tiga atau empat. Nilai balas jasa.
Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang berfungsi menjaga standar pendidikan, khususnya di perguruan tinggi, harus melakukan pengawasan ketat terhadap penyelenggaraan kelas jarak jauh agar tidak merugikan masyarakat. Selama ini, BAN dinilai kurang berfungsi karena hasil akreditasi terkadang dilihat tidak sesuai kenyataan di lapangan. Dari sinilah sumber bencana pendidikan itu terjadi dan menggurita. *

Tidak ada komentar: