Minggu, 22 Februari 2009

Aniaya Tahanan Hingga Tewas: Enam Polisi Dibebaskan

Laporan Adiana Ahmad

WAINGAPU, PK -- Meski berkas berita acara pemeriksaan (BAP) masih belum lengkap, enam anggota polisi yang menjadi tersangka yang menganiaya tahanan sampai tewas, yakni Ipda Rony Wijaya, Brigpol Muhammad Taher Tauyib, Briptu Damianus Asa, Briptu Muhammad Basri, Bripda Agus Anmuni dan Bripda Polykarpus Tala, dibebaskan dari tahanan sejak 8 Februari 2009 karena masa tahanannya sudah habis.
Kapolres Sumba Timur, AKBP Tetra M Putra, S.H melalui Kasat Reskrim, Iptu Wilson Pasaribu yang dikonfirmasi Pos Kupang, Rabu (18/2/2009) malam, mengatakan, keenam tersangka itu bebas karena alasan hukum yakni masa tahanan sudah habis.
Para tersangka itu, kata Wilson, sudah dua kali diperpanjang masa tahanannya. Dan sesuai ketentuan dalam KUHP, katanya, masa penahanan para tersangka tidak dapat diperpanjang lagi sehingga mereka harus dibebaskan demi hukum.
Wilson mengatakan bahwa penyidik serius menangani kasus tewasnya tahanan di Mapolsek Lewa karena ini kasus kriminal itu menyita perhatian publik. Namun ketika dilimpahkan ke kejaksaan, berkas perkara para tersangka dikembalikan lagi karena belum lengkap.
"Kita sudah berupaya maksimal. Namun kondisinya seperti ini, bukan kita yang salah. Kalau kita menahan orang tanpa ada dasar hukum kita bisa disalahkan dan bisa dituntut," kata Wilson.
Sementara salah seorang penyidik Kejari Waingapu, Feby Dwiyandospendy, S.H mengatakan, pihaknya tidak bermaksud mempersulit penyidik polisi. Setiap berkas perkara yang dikembalikan ke penyidik karena belum lengkap. "Percuma kalau kita paksakan kalau BAP belum lengkap. Hasil akhirnya di pengadilan tersangka akan bebas," kata Feby.
Dia mengatakan, khusus kasus Lewa, berkasnya dikembalikan karena ada keterangan saksi yang berbeda-beda. Padahal tersangkanya sama. Karena itu, katanya, jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk memperbaiki berkas perkara yang ada. (dea)

Somasi: Subyektivitas Penyidik

KOORDINATOR Sentral Advokasi Masyarakat Sipil (Somasi) Sumba Timur, Oktavianus Landi mengatakan, bebasnya para tersangka merupakan akibat dari bolak-baliknya BAP para tersangka antara penyidik dengan jaksa.
Selain itu, kata Okta, keberpihakan penyidik Polres Sumba Timur terhadap para tersangka juga terlihat sangat jelas. Penggunaan pasal 351 KUHP untuk menjerat para tersangka, kata Okta, kurang tepat karena kasus Lewa tidak bisa dikategorikan penganiayaan biasa.
Okta mengatakan, jika benar-benar penyidik melihat dengan jernih kasus ini, seharusnya pasal yang tepat untuk para tersangka, yakni pasal berlapis yakni pasal 354 tentang penganiayaan berat yang menyebabkan orang tewas dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun, dan pasal 170 tentang pengeroyokan yang menyebabkan kematian seseorang dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun.
"Yang menjadi pertanyaan, mengapa penyidik tidak menggunakan pasal ini, malah menggunakan pasal 351 KUHP. Di sini terlihat jelas keberpihakan penyidik bahwa kasus ini seperti penganiayaan biasa. Dengan menerapkan pasal 351 kepada para tersangka dimana ancaman hukumannya maksimal tujuh tahun atau di bawah sembilan tahun, menjadi alasan bagi penyidik untuk tidak memperpanjang lagi masa penahanan para tersangka. Padahal kalau para tersangka dijerat dengan pasal 354 dan 170 KUHP, masa penahanan para tersangka bisa diperpanjang lagi. Hal ini sesuai amanat UU KUHAP Nomor 8 tahun 1981 pasal 29 yang merupakan pengecualian dari pasal 24, pasal 25 dan pasal 26 undang-undang yang sama," kata Okta.
Dalam pasal tersebut, jelas Okta, dikatakan terjadi pengecualian menyangkut masa penahanan tersangka atau terdakwa dalam pasal 24, 25 dan 26 yakni jika tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter atau perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
"Jadi subyektivitas penyidik terlihat jelas. Saya juga melihat ada sikap canggung penyidik untuk memproses para tersangka. Apalagi dalam kasus ini ada indikasi keterlibatan dari Kapolsek Lewa, Ipda Rony Wijaya yang nota bene bekas atasan para penyidik. Sikap ini dapat dilihat dari pelaksanaan rekonstruksi yang tidak melibatkan para tersangka," demikian Okta.
Ia mengatakan, lazimnya dalam proses rekonstruksi, peran yang diwakilkan hanya korban. Sedangkan para tersangka dan saksi tidak pernah atau jarang diwakilkan. "Jika alasannya para tersangka tidak mau, mengapa tidak dipaksa? Kalau masyarakat sipil bisa, mengapa giliran anggota Polri tidak bisa? Apakah dengan peran yang diwakilkan, penyidik berani jamin bahwa hasil rekonstruksi sesuai fakta di lapangan? Rekonstruksi itu kan untuk melihat apakah BAP yang ada sesuai fakta atau tidak," kata Okta.
Selain pasal 354 dan pasal 170 KUHP, demikian Okta, para tersangka juga bisa dijerat dengan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia. Dalam kasus ini, jelasnya, Kapolsek Lewa, Ipda Rony Wijaya bersama anak buahnya menangkap dan dalam proses penangkapan itu mereka melakukan penganiayaan berat yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat kemanusiaan terhadap korban Lu Kamangi, Diki Takajanji dan Jamma Landutana sebagai tahanan yang berada dalam pengawasan Polsek Lewa. Tindakan polisi ini yang menyebabkan Lu Kamangi meninggal dunia dan penderitaan berat Diki Takajanji dan Jamma Landutana.
Perbuatan ini, kata Okta, merupakan kejahatan kemanusiaan yang melanggar pasal 9 butir (f) UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Juga, PP Nomor. 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri pasal 6 poin (q) tentang penyalahgunaan wewenang dan poin (j) tentang larangan keberpihakan dalam perkara pidana yang sedang ditangani, poin (k) larangan memanipulasi perkara dan poin (n) tentang larangan mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah kebenaran materil perkara.
Okta menilai apa yang terjadi dalam penanganan kasus penganiayaan tahanan hingga tewas di Mapolsek Lewa bertolak berlakang dengan semangat reformasi yang sedang dilakukan Kapolri.
Okta menyarankan, jika dalam kasus ini, penyidik Polres Sumtim tidak mampu bersikap obyektif sebaiknya Polda NTT mengambil alih penanganannya.
"Kasus besar yang pelakunya jelas saja keadaannya seperti ini. Bagaimana dengan kasus lain yang lebih ringan yang dilakukan anggota Polri terhadap masyarakat?" tambahnya.
Dia mengungkapkan, jika kasus ini berlarut-larut pihaknya akan menyurati Komnas HAM di Jakarta. "Kebetulan kami punya jaringan di Komnas HAM yang bisa dihubungi setiap saat. Kami akan coba konsultasi dengan mereka," tambah Okta.
Sementara itu, Forum Organisasi Rakyat (FK ORA) Sumba Timur, Wunu Ngita Amah meminta polisi dan kejaksaan serius mengusut kasus ini karena menyangkut nyawa manusia.
Apalagi pelakunya polisi yang notabene tempat masyarakat mencari perlindungan. "Masyarakat biasa yang curi ayam, cepat sekali diproses dan dihukum tapi kalau polisi yang melanggar hukum kesannya begitu sulit," demikian Ngita Amah. (dea)

Tidak ada komentar: