Senin, 15 Februari 2010

UU LLAJ: Pidananya Berat, Siapkah Kita? (4)

PENYELENGGARAAN lalu lintas dan angkutan jalan juga menuntut peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dalam bentuk pemantauan dan penjagaan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan. Peran serta itu juga dalam bentuk masukan kepada instansi pembina dan penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan di tingkat pusat dan daerah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Peran serta masyarakat dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan. Tidak hanya dalam bentuk menyumbangkan pikiran. Masyarakat juga wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.
Jika terjadi pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, pihak kepolisian wajib melakukan penyidikan. Selain oleh pihak kepolisian, penyidikan juga dapat dilakukan oleh penyidik PNS tertentu yang diberi wewenang khusus. Kewenangan penyidik PNS ini antara lain melakukan pemeriksaan atas pelanggaran persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, melakukan pemeriksaan atas pelanggaran perizinan angkutan orang atau barang, melakukan pemeriksaan atas pelanggaran muatan atau dimensi kendaraan bermotor, melarang atau menunda pengoperasian kendaraan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
Setiap pelanggaran di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang diperiksa dan dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan. Pelanggar yang tidak dapat hadir dapat menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh pemerintah. Bukti penitipan uang denda wajib dilampirkan dalam berkas bukti pelanggaran. Dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang denda yang dititipkan, sisa uang denda harus diberitahukan kepada pelanggar untuk diambil. Uang denda yang ditetapkan pengadilan disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
***
ADA hal baru yang diatur dalam UU 22/2009 ini yang belum diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1992. Jika dalam UU 14/1992 hanya mengatur tentang ketentuan pidana bagi para pengemudi kendaraan bermotor, dalam UU 22/2009 tidak hanya mengatur tentang pengemudi, tapi juga penyelenggara jalan.
Celakanya, ketentuan pidana bagi penyelenggara jalan ini sangat berat. Pasal 24 (1) berbunyi: penyelenggara jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Kemudian ayat (2): dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Ketentuan pidana bagi penyelenggara jalan ini diatur dalam pasal 273. Ayat (1) berbunyi: Setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pasal 24 (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00. Ayat (2) berbunyi: ....jika luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00. Dan, ayat (3) berbunyi: ....jika meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 120.000.000,00.
Tidak hanya itu. Pada pasal 273 ayat (4) berbunyi: penyelenggara jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud pada pasal 24 (2) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 1.500.000,00.
Pertanyaannya, sudah siapkah kita -- terutama di NTT -- melaksanakan ketentuan pidana sesuai yang diatur dalam UU ini? Siapkah kita mematuhi aturan-aturannya? Jawabannya tentu kita melihat kondisi riil di NTT saat ini.
Ketentuan pidana yang termuat dalam pasal 273 tentu saja terasa memberatkan bagi institusi Departemen Pekerjaan Umum (DPU) sebagai lembaga penyelenggara jalan. Itu sebabnya, para pimpinan lembaga ini mulai dari tingkat pusat hingga tingkat kabupaten/kota menyatakan keberatan jika UU 22/2009 ini dipaksakan untuk dilaksanakan saat ini, karena sanksi hukumnya berat.
Penolakan ini sangat beralasan. Sebab, kondisi jalan hampir di semua daerah saat ini belum siap. Jalan rusak dan berlubang dimana-mana. Jika UU ini dipaksakan dilaksanakan, artinya penyelenggara jalan (terutama DPU) harus sudah menyiapkan dana lagi untuk membayar para korban kecelakaan akibat kerusakan jalan. Sementara di sisi lain, saat ini pemerintah belum menyiapkan dana untuk itu.
Saban tahun, DPU selaku penyelenggara jalan selalu mengeluhkan minimnya dana untuk pengerjaan atau perbaikan jalan. Dana yang dialokasikan atau tersedia selalu kurang dan tidak sesuai dengan yang diusulkan dan tidak sesuai dengan kondisi kerusakan di lapangan. Kondisi NTT saat ini, dari panjang 1.734 km jalan propinsi, dalam kondisi baik tidak sampai 20 persen, sedangkan dalam kondisi rusak lebih dari 80 persen.
"Kalau jalannya rusak karena ketidakcukupan dana untuk perbaikan lalu ada yang celaka, apakah PU yang harus bertanggung jawab? Jangan kami disalahkan. Dana tak cukup untuk denda. Pemerintah pusat harus memikirkan dana untuk denda buat kecelakaan lalu lintas. Dana kita di propinsi terbatas," kata Kepala Dinas PU NTT, Ir. Andre W Koreh, MT beberapa waktu lalu.
Tak hanya institusi PU. Masyarakat pengemudi kendaraan bermotor juga menyatakan keberatan dengan UU ini. Empat orang tukang ojek di Kota Kupang, yakni Sonny Ndolu, Iron, John Pandie, dan Yacob Leti menyatakan, ketentuan pidana UU ini cukup berat. "Bayar denda Rp 50 ribu saja kita sudah rasa berat, apalagi kalau bayar Rp 250 ribu sampai Rp 1 juta, kita mau ambil uang darimana?" kata para tukang ojek. "UU ini tidak berpihak pada rakyat kecil. Sebaiknya pemerintah meninjau kembali UU ini," kata mereka. (habis)

Pasal 276: Mengemudikan kendaraan bermotor umum dalam trayek tidak singgah di terminal dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.

Pasal 285 (1): Mengemudikan sepeda motor di jalan tidak memiliki kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.
Ayat (2): ....untuk kendaraan roda empat dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00.

Pasal 291 (1): Mengemudikan sepeda motor tidak mengenakan helm standar dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu
bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.
Ayat (2): Mengemudikan sepeda motor membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00.

Pasal 297: Mengemudikan kendaraan bermotor berbalapan di jalan dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00.

Tidak ada komentar: