Senin, 26 Oktober 2009

Menuju Indonesia Bebas Narkoba: Orang Sakit Kok Dipenjara? (3)

Oleh: Kanis Jehola

LAIN Tarman Azzam, lain Bambi Abimayu dan Sumirat Dwiyanto. Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani, SpKJ (K) yang membawakan materi tentang Terapi dan Rehabilitasi bagi Pasien Ketergantungan Narkoba tampil beda dari narasumber lainnya. Mengawali pemaparannya, ia mengkritik sikap dan pola pemberitaan pers selama ini serta sikap pemerintah terhadap para pecandu dan pengedar narkoba.
Direktris Yayasan Suryani Institute for Mental Health, Denpasar-Bali ini lalu beringsut dari tempat duduknya. "Maaf Pak, saya lebih baik berdiri saja," katanya memohon izin peserta. Setelah membacakan curriculum vitae-nya, ia pun mulai melancarkan kritikannya.
Menurutnya, pers belum begitu memberikan perhatian yang serius terhadap masalah narkoba selama ini. Berita narkoba sering dinilai sebagai berita yang tidak seksi, kurang laku dijual, dan terlebih tidak ada uangnya.
Suryani kemudian menceritakan pengalamannya selama memimpin lembaganya. Selama ini ia sering mengundang wartawan untuk meliput dan menulis tentang kegiatan mereka dalam mendampingi para pecandu narkoba. Tapi tidak banyak wartawan yang datang dan mau menulis. "Saya maklumi karena menulis kegiatan kami (narkoba) tidak ada uangnya. Beda dengan pemerintah atau lembaga lainnya, ada kegiatan berarti ada uang," katanya sinis.
Kalaupun masih ada satu dua orang wartawan yang mau menulis meskipun tidak ada uangnya, kata Suryani, namun judul tulisannya pun menyeramkan, menakutkan. Misalnya, polisi membekuk pecandu narkoba, pecandu narkoba dihukum sekian tahun. "Wah, judul itu sangat menakutkan, tapi bukan untuk membuat orang menjadi jera dan menjauhi narkoba," katanya.
Selain mengritik pers, Suryani juga mengritik pemerintah. Dikatakannya, perhatian pemerintah terhadap masalah narkoba, khususnya para pecandu narkoba selama ini masih kurang. "Selama ini, pemerintah hanya memikirkan pembangunan fisik. Pemerintah tidak pernah memikirkan kesehatan mental," katanya.
***
LALU, bagaimana pola penanganan terhadap pecandu narkoba sesuai pandangan Suryani? Suryani yang mendirikan yayasannya tahun 2005 dengan visi: Menyehatkan Masyarakat Sehat dengan Pendekatan Biopsikospirit-Sosiobudaya, mengatakan, berdasarkan hasil identifikasi selama pendampingan mereka selama ini, para pemakai narkoba itu umumnya berasal dari keluarga broken home. Mereka memakai narkoba sebagai salah satu bentuk pelarian dari masalah, dan ingin mendapat tantangan. Para pemakai ini ada yang berasal dari golongan menengah ke atas. Ada dari golongan menengah ke bawah, dan ada anak kurang pandai dan tidak terpelajar. Mereka umumnya masih berusia remaja.
Menurutnya, ada beberapa alasan yang mendorong mereka memakai narkoba. Antara lain remaja ingin menentang atau berontak terhadap peraturan dan lingkungan, ingin mendapatkan kedamaian, kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi, serta stres yang tidak bisa diatasi.
"Jadi, faktor yang mendorong orang memakai narkoba bukan karena ada pengedarnya, lingkungannya atau orangtuanya menggunakan narkoba, tapi karena adanya keinginan dari dalam diri pengguna itu sendiri. Keinginan dari dalam diri itu dipicu oleh rasa keingintahuan, dan adanya masalah yang ada padanya.
Remaja menggunakan narkoba karena dia ingin menentang apa yang tidak boleh dia lakukan, karena stress, ingin mencari kedamaian, dan berbagai sebab lainnya. Karena itu, pada usia 10 tahun pertama, anak-anak harus diberikan kenyamanan, diberikan kasih sayang dan kebutuhan hidupnya harus terpenuhi," kata Suryani.
Itu sebabnya Suryani tidak setuju kalau para pecandu narkoba itu dihukum atau dipenjara. Menghukum atau memenjarakan para pecandu narkoba dinilainya tidak akan memecahkan masalah. "Orang sakit kok dipenjara," katanya.
Menurutnya, cara terbaik yang dilakukan untuk mencegah para pecandu narkoba ialah dengan cara persuasif. Para pecandu narkoba harus dipulihkan di panti terapi dan rehabilitasi. "Dipenjara tidak akan membuat pecandu kembali sehat dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya," katanya.
Pola penanganan saat pecandu masuk panti rehabilitasi dilakukan dengan pendekatan Re-Frame Memory, yakni mengembalikan memori para pecandu agar kembali sehat dan baik seperti semula. Sehat dalam konteks ini adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Re-Frame Memory itu dilakukan dengan mengikutsertakan para pecandu narkoba dalam berbagai kegiatan. Misalnya kegiatan olahraga, rekreasi ke tempat-tempat wisata, ke hutan lindung, menikmati keindahan alam, kegiatan organisasi, kegiatan seni dan budaya, meditasi dua kali sehari, relaksasi dan kegiatan- kegiatan positif lainnya. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, para pecandu diharapkan dapat menemukan jati dirinya sehingga bisa kembali ke jalan yang benar.
Kalakhar (Kepala Pelaksana Harian) BNN, Komjen Drs. Gories Mere, mengatakan, pemikiran Ny. Suryani itu sejalan dengan keinginan BNN. Itu sebabnya, pada tanggal 18 Februari 2009, para petinggi BNN yang dipimpinnya bertemu dengan Mahkamah Agung (MA), Harifin A Tumpa, untuk membicarakan masalah ini. Perjuangan BNN ini membuahkan hasil. Tanggal 17 Maret 2009, Ketua MA meminta agar para hakim di tingkat pengadilan tinggi dan negeri tidak buru-buru memvonis hukuman penjara bagi terpidana pemakai narkoba, melainkan bisa dikirim ke panti terapi dan rehabilitasi.
Menurut Tumpa, dalam Surat Edaran Nomor 07 Tahun 2009, sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban. Jika dilihat dari aspek kesehatan, mereka sesungguhnya orang- orang sakit. Karena itu, memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.
"Sejatinya pengguna narkoba itu adalah korban. Mereka harus direhabilitasi dan dipulihkan, bukan dipenjara. Kalau dipenjara, mereka malah tak akan sembuh-sembuh," kata Kepala Pusat Pencegahan BNN, Brigjen Polisi Anang Iskandar. (habis)

Tidak ada komentar: