Rabu, 03 Desember 2008

Kasus Tewasnya Tahanan: Kapolsek Lewa Ikut Menganiaya

WAINGAPU, PK -- Salah satu tahanan yang ikut menjadi korban kebrutalan anggota Polsek Lewa, Jama Landutana, mengaku dirinya bersama korban, Lu Kamangi dan dua teman lainnya, disiksa selama dalam perjalanan dari Desa Padamu hingga ke Mapolsek Lewa. Kapolsek Lewa, Ipda Rony Wijaya disebutnya ikut menganiaya korban, Lu Kamangi hingga darah segar keluar dari telinga korban.
Landutana mengatakan hal itu ketika ditemui Pos Kupang di salah satu rumah keluarganya di Waingapu, Rabu (3/12/2008). Landutana mengatakan, ada delapan anggota, termasuk Kapolsek Lewa yang memukul mereka.
"Kita tidak bisa hitung lagi berapakali mereka memukul kita. Pak Agus dan Pak Damu yang paling banyak pukul kita. Kalau korban, Lu Kamangi, Kapolsek yang pukul pertama sampai telinganya mengeluarkan darah. Saat telinga almarhum sudah darah pun Kapolsek masih pukul. Sementara anggota bernama Agus yang melanjutkan pemukulan sampai almarhum jatuh dan sekarat. Saya memang tidak ingat semua nama-nama anggota yang pukul kami. Namun saya ingat muka mereka," kata Landutana.
Ia mengatakan, setelah melihat almarhum Lu Kamangi dan ketiganya tak berdaya, mereka kemudian diantar anggota Polsek Lewa ke Puskesmas Lewa. "Saat antar ke Polsek Lewa almarhum sudah sekarat, napas tinggal satu-satu. Saya masih bisa bertahan. Sementara teman kita yang lain, Diki Takanjanji Rinja akhirnya mampu melarikan diri pada pukul 14.00 Wita dari Puskesmas Lewa. Panik dengan kondisi almarhum yang sudah sekarat, Senin (1/12/2008) malam, tiga anggota Polsek Lewa mengantarkan almarhum ke Waingapu. Saya sempat minta ikut tetapi dilarang tiga anggota tersebut," kata Landutana yang mengaku tidak tahu nama ketiga anggota tersebut tetapi mengenal wajah mereka.
Landutana mengungkapkan, sangat mengenal wajah anggota yang melakukan pemukulan kepada mereka karena ketiganya dipukul satu tempat. "Saya dirawat di Puskesmas Lewa 12 jam dari Senin (1/12/2008) pukul 17.00 Wita sampai Selasa (2/12/2008) pukul 05.00 Wita. Saya kemudian dilepas. Saya tidak tahu alasan saya dilepas. Soal ada informasi korban meninggal dunia karena TBC itu tidak benar karena selama ini korban tidak pernah sakit. Kondisi fisik korban juga sehat, tidak ada gejala apapun kalau lagi sakit. Kalau beliau TBC paling tidak beliau sering batuk dan kondisi fisiknya kurus dan lemah," kata Landutana.
Landutana mengungkapkan, almarhum Lu Kamangi bukan termasuk salah satu yang dilaporkan Pindi Njdola Meha (Isteri Talu Meha, Red) sebagai pelaku penganiayaan. "Almarhum ikut ditangkap mungkin karena polisi marah ketika pada malam sebelumnya saat menangkap para pelaku dugaan penganiayaan diteriakan perampok dan dikejar oleh warga," terang Landutana.
Dikatakannya, aksi penangkapan terhadap mereka pada Senin pagi dipimpin Kapolsek Lewa, Ipda Rony Wijaya. Mereka yang tangkap dan ditahan, yakni Jama Landutana, Luka Takandanu Yan, Nggala Tolarihi, Lu Kamangi dan Tay Hambandima. Padahal, katanya, yang dilaporkan Pindi sebagai pelaku penganiayaan itu hanya dirinya, Luka Takandanu Yan, Nggal Tolarihi dan Tay Hambandima.
Landutana mengatakan, laporan Pindi tentang kasus penganiayaan tersebut tidak benar karena mereka memang tidak pernah melakukan tindakan penganiayaan terhadap siapapun, termasuk kepada Pindi.
"Dalam laporan ke Polsek Lewa, kita menganiaya Pindi pada Minggu (29/11/2008) pukul 11.00 Wita. Padahal pada jam itu kita, termasuk suami pelapor, Pindi sedang minum kopi di rumah Karipi Haru. Sebelumnya juga kita tidak pernah bertemu pelapor yang mengaku korban penganiayaan tersebut. Rumah kita juga berjauhan sekitar empat kilometer," katanya.
Landutana menduga, laporan penganiayaan itu palsu dan hanya sebagai aksi balas dendam karena sebelumnya mereka pernah mencurigai pelapor sebagai pencuri kerbau almarhum yang hilang. "Kerbau milik almarhum empat ekor hilang. Pada tanggal 15 November kita ke Pospol Nggoa untuk mengadukan kasus tersebut. Di sana tidak ada petugas. Kita datang lagi berikutnya tidak ada. Untuk ketiga kali baru kita bertemu petugas Pak Damu dan temannya. Saat kita melapor mereka tidak menulis di buku. Kita hanya omong-omong di bangku yang ada di luar, Pak Damu kemudian menyuruh kita untuk pergi intip siapa yang mencuri dan melaporkan kepada mereka supaya ditangkap. Laporan kita itu tidak ada tindaklanjutnya," kata Landutana.
Ia menuturkan sesuai saksi mata, Djara Deku dan Nggala Meleu, mereka melihat kerbau almarhum digiring masuk ke kandang Talu Meha dan Pindi Njdola Meha. Kesaksian itu, katanya, dikuatkan dengan jejak kerbau yang mengarah masuk dan keluar kandang Talu Meha. Talu menduga, berawal dari kasus itu, Pindi kemudian sakit hati dan membuat laporan palsu tentang penganiayaan ke
Polsek Lewa.
Untuk lebih jelas sampai terjadinya kasus penahanan dan tewasnya almarhum, Landutana dan keluarag meminta Polres Sumba Timur memanggil dan memeriksa Pindi, perempuan yang melaporkan mereka ke polisi dalam kasus penganiyaan.
Sementara dokter yang melakukan visum dan otopsi terhadap jenazah korban Lu Kamangi, dr. Made Mekel, menolak memberitahu hasil visum dan otopsi dengan alasan kode etik. Made mengatakan, hasil visum dan otopsi itu hanya bisa diberitahu kepada polisi karena polisi sebagai pihak yang meminta melakukan visum. "Hasilnya seperti apa nanti polisi yang beritahukan. Saya hanya bisa memberikan hasil visum ke polisi," kata Made.
Made mengaku, hasil visum luar sudah ada. Sedangkan hasil otopsi akan diselesaikan Rabu sore. "Kalau tidak sibuk, sore ini juga saya selesaikan hasil otopsi. Setelah itu polisi sudah bisa
ambil hasil otopsinya," tambah Made.
Lapor polisi
Para korban penahanan dan penganiayaan anggota Polsek Lewa akhirnya memutuskan melaporkan kapolsek dan anggota Polsek Lewa ke Polres Sumba Timur. Kapolsek dan anggota Polsek Lewa dilaporkan dengan tuduhan melakukan tindakan penganiayaan terhadap mereka.
Laporan para korban penganiayaan anggota Polsek Lewa ini diterima Bagian RSPK Polres Sumba Timur. Para korban langsung diambil keterangan oleh penyidik. Selain para korban, penyidik Polres Sumba Timur juga memeriksa tahanan lain yang saat itu ikut menyaksikan peristiwa penganiayaan tersebut. Korban yang diperiksa, yakni Diki Takanjanji Ranji, salah satu korban yang sempat lari ketika dirawat di Puskesmas Lewa. Sementara saksi lain yang ikut diambil keterangan, yakni Farida Banja Uru.
Farida yang saat kejadian menjadi tahanan Polsek Lewa mengaku menyaksikan langsung aksi kebrutalan para anggota polisi terhadap para korban. "Saya tidak tega melihatnya. Saya sampai menangis. Mereka ditampar, ditendang. Kalau di tahanan, anggota yang paling banyak melakukan pemukulan bernama Agus dan Basri. Saat itu almarhum sempat mengatakan bahwa dia tidak terlibat dalam aksi pengejaran terhadap polisi malam itu. Bahkan korban, Lu Kamangi sempat bilang biar Tuhan yang tau. Basri dan Agus yang memukul korban sampai jatuh. Korban jatuh, karena ditendang di kemaluan," kata Farida.
Ia mengatakan, saat jatuh kaki tangan korban langsung meregang. Dua anggota kemudian mengambil air dan menyiram korban. Namun karena korban belum juga siuman, anggota polisi kemudian membawa keluar korban dari tahanan. Setelah itu, Farida mengaku tidak mengetahui lagi korban dibawa ke mana.
Pantauan Pos Kupang di Mapolres Sumba Timur, sampai Rabu (3/12/2008) malam, penyidik Polres Sumba Timur masih memeriksa anggota-anggota yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. (dea)

Bapa, kami bagaimana?

SETIAP kematian pasti menimbulkan duka yang dalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Begitu pula yang dirasakan anak-anak, isteri dan keluarga besar Lu Kamangi, korban yang tewas dianiaya polisi di tahanan Polsek Lewa. Siapapun yang masih bernurani pasti akan tersayat hatinya menyaksikan pemandangan siang itu di RSUD Umbu Rara Meha- Waingapu. Dua remaja dengan wajah muram ada di antara kerumunan orang di depan ruang mayat RSUD Umbu Rara Meha. Seorang anak lelaki bertubuh ceking mengenakan baju kaos hijau daun dengan celana jeans biru. Anak yang usinya menginjak remaja ini duduk di lantai bersandar tiang rumah sakit. Wajahnya tertunduk lesu. Sesekali ia menyeka air matanya. Terkadang ia mengangkat muka dengan pandangan kosong. Tak mampu berkata-kata.
Ketika diajak bicara, responnya hanya berupa gerakan mengangguk dan menggeleng. Sementara seorang anak remaja perempuan, usianya sekitar 13 tahun. Gadis kecil ini berdiri di antara kaum ibu dengan bersandar pada satu tiang rumah sakit. Air matanya terus mengalir membasahi kedua pipinya. Dia menatap setiap orang yang ada di tempat itu satu per satu. Kedua remaja lelaki dan perempuan tadi bernama Domi dan Ana Hambu.
Selang beberapa jam kemudian, seorang lelaki paruh baya membawa tiga orang bocah. Ketiga bocah berwajah polos ini juga hanya memandang orang-orang di sekeliling mereka. Dua orang remaja dan tiga bocah tersebut adalah putera-puteri almarhum, Lu Kamangi.
Ketiga bocah mungkin belum begitu paham tentang apa yang terjadi dengan ayah mereka. Namun bagi Domi dan Hambu, kematian sang ayah merupakan pukulan berat bagi mereka. Betapa tidak, Domi yang saat ini berada di kelas III SMP Kristen Payeti dan Hambu yang duduk di Kelas I SMPN 4 Kawangu merasa kehilangan sandaran hidup. Satu-satunya tumpuan hidup mereka telah pergi. Sementara perjalanan mereka masih begitu panjang.
Domi yang tak kuasa menahan tangis ketika ditanya soal ayahnya, mengatakan, almarhum orangnya pendiam dan tak banyak bicara. "Sehari-hari bapak hanya kerja di kebun. Saya tidak percaya bapak mati. Sudah dua bulan saya tidak pulang ke kampung di Pulo Panjang. Saya tidak tahu kalau saya harus ketemu bapak saat dia sudah mati," kata Domi sambil terisak.
Domi yang sekolah di SMP Kristen Payeti dengan difasilitasi WFI itu mengaku, meski sekolahnya dibiayai oleh WFI, namun sang ayah tidak pernah melupakan kewajibannya. "Kalau saya libur ke kampung, bapak pasti kasi saya uang. Sekarang nasib kami bagaimana. Bapak sudah mati," Domi kembali terisak.
Nasib serupa juga dialami sang adik yang masih duduk di kelas I SMP. Lebih berat lagi, sekolah sang adik sepenuhnya dibiayai orangtua. Belum lagi keempat adiknya yang masih kecil serta nasib si bungsu yang masih ada dalam kandungan sang bunda.
Almarhum Lu Kamangi meninggalkan dua orang istri , Kaita Kamba Humba dan Mora Lambu serta enam orang anak. Salah satu dari isteri korban bahkan sedang hamil sembilan bulan.
Keluarga korban tak kuasa menahan rasa haru ketika membicarakan nasib anak-anak korban. Kakak Korban, Nyonggar Pekuali mengaku anak-anak korban akan terlantar karena selama ini korban merupakan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. "Anak-anaknya itu masih kecil. Saya tidak bisa bayangkan bagaiman nasib mereka," kata Nyonggar lirih.
Karena itu ia berharap pihak kepolisian secara lembaga mengusut tuntas kasus ini dan anggota yang terlibat harus ditindak tegas. Ia juga meminta Kapolres jujur, transparan dan tidak melindungi anggota yang bersalah. "Kami hanya berharap ada keadilan. Kalau balas dendam tidak mungkin, toh tidak mengembalikan nyawa adik kami," katanya. (dea)

Tidak ada komentar: