Kamis, 15 Januari 2009

Tangis Pisah di Pelukan Ibu.....

IQBAL Nawrooz Ali, imigran asal Afghanistan adalah satu dari empat imigran yang tewas setelah perahu yang mereka gunakan untuk melarikan diri dari Kupang ke Rote, tenggelam. Iqbal tidak sendirian. Dia bersama anaknya, Muneer Ahmad Iqbal (9 tahun). Sampai kemarin, nasib bocah ini belum diketahui. Kenapa sampai ayah-anak ini pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka; Afghanistan? Berikut intisari hasil wawancara Pos Kupang dengan Iqbal, 23 Desember 2008 lalu, sebelum peristiwa yang merenggut nyawanya itu.

***

"SAYA tidak ingat kapan kami keluar dari rumah tetapi sampai hari ini sudah 24 hari kami tinggalkan rumah. Muneer memeluk ibunya dan mengucapkan selamat tinggal untuk waktu yang tidak pasti. Dia menangis tetapi akhirnya memilih mengikut saya".
Demikian Iqbal Nawrooz Ali ketika Pos Kupang mewawancarainya di ruang kerja Kasubag Tata Usaha Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kupang, Benyamin Tulasi, Selasa (23/12/2008). Di ruang itu, anaknya yang kedua, Muneer Ahmad Iqbal, siswa Kelas III SD Marefat, Vilanese-Afghanistan, duduk sekursi dengan Devan Riwu, anak seorang PNS yang bekerja di Rudenim.
Sejak Muneer menjadi salah satu dari 33 imigran yang ditahan di Rudenim Kupang (6/12/2008), Devan Riwu menjadi teman mainnya sehari-hari, walaupun komunikasi antara keduanya hanya menggunakan bahasa tubuh. Berjingkrak-jingkrak, melompat dari kursi kemudian duduk tenang karena ditegur ayahnya. Raut wajah bocah itu tak memperlihatkan kegelisahan, pemandangan yang berbeda dengan sang ayah, Iqbal.
Mengenakan baju kaos oblong bergambar robot dan celana pendek jeans, Muneer tidak berhasil diajak ngobrol. Kendala utamanya ternyata bukan bahasa, karena ada penterjemah, Sayed Nasim, imigran asal Afghanistan yang mengerti bahasa Indonesia. Nasim yang ditahan terlebih dahulu di Rudenim Kupang itu sudah membujuk Muneer untuk mengungkapkan perasaannya, apakah dia senang, sedih, rindu pada mamanya, saudaranya dan teman-temannya, namun anak itu, seperti anak di belahan dunia mana pun, memilih bermain. Tetapi dari cerita ayahnya, Muneer rindu bermain dengan anak-anak sebayanya yang mengerti bahasanya.
"Munir juga ingat ibunya. Tiap malam dia tanya kapan keluar dari rumah ini (Rudenim Kupang, Red). Kapan tiba di Australia? Kapan bisa tinggal dengan tenang sehingga bisa kumpul lagi dengan ibu dan saudara- saudaranya?" tutur Iqbal.
Menurutnya, kekhawatiran akan bahaya perang dan pembunuhan dari kelompok Taliban telah memisahkan keluarganya. Istrinya, Adila Ahmad, membawa serta tiga anak mereka menuju Pakistan. Sementara dirinya dan Muneer meninggalkan kampung halaman guna menata hidup baru di Australia, negeri yang banyak dituju para pencari suaka dari kawasan Asia.
Baginya, tidak ada kehidupan di Afganistan. Berkali-kali ia tegaskan, persoalannya bukan pada materi dan uang, melainkan pada masalah keamanan hidup. Dari sisi finansial, keluarganya berkecukupan karena memiliki sebuah toko emas. Tetapi apalah arti kekayaan kalau hidup dalam bayangan rasa takut? Ancaman perang dan tindak kekerasan dari kelompok Taliban menjadi hantu paling menakutkan yang sewaktu-waktu berbuah maut.
"Perjalanan kami dari Afganistan, India, Kuala Lumpur, Surabaya, Jakarta (selama dua malam) dan langsung ke Kupang. Jumlah uangnya? Saya tidak hitung tetapi sudah sekitar $ 4.000 untuk kami dua. Itu sudah semuanya termasuk visa, tiket pesawat, makan minum dan lain-lain. Semua uang pribadi. Saya punya keluarga bukan orang miskin. Kami punya toko emas. Tetapi kami tidak aman lagi di sana. Tidak ada hidup di sana," demikian Iqbal menjawab pertanyaan Pos Kupang.
Tetapi siapa sangka ketika perjalanan Iqbal mencari kehidupan berujung lenyapnya nyawa ketika kenekatannya melarikan diri dari Rudenim Kupang, Rabu (14/1/2009) dinihari berakhir dengan tenggelamnya perahu di sekitar perairan Pulau Semau.
Sementara Muneer hingga tadi malam belum ditemukan. Salah seorang aparat keamanan yang mengantar Najibulah Ali Ahmad, salah satu imigran Afghanistan yang selamat, ke Rudenim Kupang sekitar pukul 17.30 Wita, kemarin, menceritakan, setelah perahu tenggelam, Muneer sebetulnya sudah sempat diselamatkan ke atas perahu. Namun, karena hantaman gelombang, perahu itu kembali tenggelam.
Muneer memang belum ditemukan. Tidak ada kepastian apakah ia selamat atau menyusul ayahnya ke alam baka. Mungkinkah tangis yang ia tumpahkan saat pamit dari ibunya merupakan pertanda sang anak berpisah selamanya. Semoga saja tidak. (yosep sudarso)

Tidak ada komentar: