Kamis, 07 Agustus 2008

Dari Forum Silaturahmi Media Massa Anti Narkoba: Kalau Aparat Bermain Mata..... (2)


Oleh: Kanis Jehola

JIDAT Karni Ilyas mengkerut saat membedah materi berjudul "Membangun komitmen media massa sebagai sarana informasi edukatif Program P4GN (Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba)."
Pemimpin Redaksi TVOne itu mempertanyakan mengapa kasus penyalahgunaan narkoba di negeri ini semakin hari makin banyak. Para pelakunya tidak jera. Bahkan kuantitas dan kualitas kasus ini mengalami pertumbuhan yang signifikan. Padahal, dari berita yang dilansir media massa, baik cetak maupun elektronik, hampir setiap hari terjadi penangkapan para pengguna narkoba.
Keheranan Karni ini bukannya tanpa alasan. Sebagaimana dilaporkan GATRA dalam edisi No.32 Tahun XIV, 19-25 Juni 2008, pada tahun 1980-an, Indonesia hanya dianggap sebagai daerah transit narkoba menuju wilayah peredarannya di Australia dan Eropa. Namun sejak tahun 2000, Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu produsen sekaligus sebagai pasar besar narkoba. Julukan ini mulai melekat setelah ditemukan sejumlah pabrik narkoba beroperasi di tanah Air. Temuan menggemparkan terjadi tahun 2002 ketika polisi menggerebek pabrik ekstasi di Cikande, Tangerang milik Ang Kim Soei yang diperkirakan telah memproduksi 27 juta butir ekstasi.
Perkembangan kasus ini mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dalam rentang waktu lima tahun terakhir, grafik perkembangan kasus ini memang meningkat sangat tajam. Sekretaris BNN, Drs. H Sri Soegiarto dalam laporannya pada forum silaturahmi media massa anti narkoba di Jakarta, 10 Juli 2008, mengatakan, pada tahun 2003 terjadi 7.140 kasus dengan jumlah tersangka 9.717 orang. Pada tahun 2007, jumlahnya melonjak menjadi 22.630 kasus dengan jumlah tersangka 36.169 orang. Dan, pada periode Januari - April 2008 telah terungkap 9.096 kasus dengan 11.960 orang tersangka.
Ini baru kasus yang berhasil diungkap dan muncul ke permukaan. Jika ditelusuri, kasus penyalahgunaan narkoba ini ibarat gunung es. Yang berada di bawah permukaan/tersembunyi jauh lebih banyak dari yang muncul ke permukaan. "Diperkirakan kasus peredaran narkoba yang terungkap baru sekitar 10 persen dari yang sesungguhnya," kata Ketua Gerakan Nasional Anti-Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat. Bahkan BNN memperkirakan penderitanya sudah melampaui angka empat juta jiwa. Secara nasional setiap tahun 15.000 jiwa melayang oleh barang terlarang ini, atau rata-rata 40 orang per hari menemui ajal.
Barang bukti yang berhasil disita juga menunjukkan kecenderungan meningkat. Narkotika jenis ganja pada tahun 2006 berjumlah 1.019.307 batang, dan tahun 2007 berjumlah 1.828.803 batang atau naik 79 persen. Heroin tahun 2006 berjumlah 11.902 gram, dan tahun 2007 berjumlah 14.691 gram atau naik 23 persen. Sementara psikotropika jenis ekstasi tablet yang berhasil disita berjumlah 466.907 tablet pada tahun 2006 meningkat menjadi 1.195.305 tablet atau naik 156 persen pada tahun 2007.
Celakanya lagi, berdasarkan kelompok usia, yang menjadi penyalahguna terbesar adalah usia 16 - 29 tahun, yakni sebanyak 123.584 orang pada periode 2003 hingga April 2008. Berdasarkan klasifikasi pendidikan, 13.551 penyalahguna merupakan siswa/i sekolah dasar (SD), 105.401 penyalahguna merupakan siswa/I SLTP dan SLTA serta 4.632 penyalahguna berasal dari perguruan tinggi.
Trend data yang dibeberkan ini cukup mengejutkan. Karena yang menjadi mayoritas penyalahguna narkoba adalah para generasi muda yang jelas-jelas merupakan tulang punggung bangsa sebagai generasi penerus. Bila kondisi tersebut tidak segera ditangani dengan segera, maka para generasi muda Indonesia di masa yang akan datang akan menjadi generasi yang terbelenggu oleh narkoba. Kondisi ini tentu akan sangat merugikan kita semua dan bangsa Indonesia khususnya.
"Kalau seperti ini, buat apa ada BNN? Dan di polisi buat apa ada yang namanya direktur narkoba?" tanya Karni retoris sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Menurut Karni, salah satu penyebab meningkatnya grafik penyalahgunaan narkoba ini karena masyarakat Indonesia sendiri tidak perduli terhadap masalah narkoba ini. "Kondisi ini sangat dirasakan dalam lima tahun terakhir ini. Masyarakat Indonesia baru perduli kalau anaknya mengkonsumsi narkoba," kata Karni.
Tapi bukan ini masalah satu-satunya. Salah satu masalah serius yang terjadi selama ini ialah kurang komitnya aparat penyidik dalam bertindak. "Saya pahami penyelidikan dan penyidikan polisi terhadap kasus narkoba harus rahasia, tapi harus ada yang buka agar publik tahu. Saya punya pengalaman, ketika dengar polisi tangkap pelaku narkoba, saya lalu minta wartawan meliput. Tapi ketika wartawan pergi, pelaku tidak bisa dilihat/diambil gambarnya karena sudah diamankan/ditutup- tutupi oleh polisi. Ini harus jelas, kapan tutup. Semua kejadian itu perlu publik tahu," kata Karni.
Dugaan keterlibatan aparat dalam peredaran narkoba begitu kuat. Aparat diduga ikut bermain mata dengan para pengedar narkoba, dan atau menjadi pengedar narkoba itu sendiri. Kasus yang melibatkan Kapolsek Bogor Utara, Jawa Barat, AKP Endang Rudiannes, atau Briptu Irwanto di Polda NTT yang kini menjadi tersangka karena kasus shabu-shabu merupakan contoh nyata. Dan, berdasarkan penelusuran Indonesia Police Watch (IPW), tahun 2000 saja tercatat 398 personil polisi terlibat narkoba, terdiri 358 pemakai, 27 pengedar, dan sisanya menjadi beking. Pangkat mereka ada yang perwira menengah, perwira pertama dan bintara.
Apa yang diharapkan jika aparat seperti ini? "Ini sudah keterlaluan. Aparat yang mestinya melindungi bangsa ini dari narkoba kok malah terjerumus menjadi pecandu dan pengedar narkoba," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane. (bersambung)

Tidak ada komentar: