Minggu, 19 Oktober 2008

Mengenang Mgr. Eduardus Sangsun, SVD: Pendiriannya Sangat Kukuh

Oleh Marsel Ali

BERPERAWAKAN tinggi dan kekar. Berambut keriting. Senang memakai kaca mata BL berwarna gelap. Itulah kenangan pertama ketika saya bertemu dengan Pater Eduardus Sangsun, SVD di Seminari Pius XII Kisol pada tahun 1978. Ketika itu dia baru saja kembali dari Roma mengikuti pendidikan. Di Kisol, Pater Edu bertugas sebagai Prefek (Pembina dan Kepala Asrama) siswa SMA Seminari Kisol.
Sebagai pembina, dia paling ditakuti. Pendiriannya sangat kukuh. Setiap keputusannya selalu tegas. Saya masih ingat, dia berani memberhentikan beberapa siswa kelas VI (kelas III SMA) karena bolos dari asrama pada malam hari. Keputusannya mengejutkan banyak pihak. Apalagi para siswa tersebut tinggal menunggu ujian akhir.
"Seminari Kisol tidak harus meluluskan banyak siswa untuk menjadi imam. Satu orang saja yang menjadi imam sudah sangat baik. Apalagi kalau yang bersangkutan melalui seleksi yang ketat." Begitu kata Pater Edu ketika itu. Akhirnya dewan guru Seminar Kisol bisa menerima keputusannya.
Setelah keputusan itu, Pater Edu dipindahkan dan bertugas di Malang, Jawa Timur. Dari sanalah kemudian pada tahun 1985 Pater Edu dipilih menjadi Uskup Ruteng.
Saat diangkat menjadi uskup, Uskup Edu masih sangat muda. Baru 42 tahun. Sejak itu, ia sering diundang menghadiri berbagai pertemuan pastoral. Termasuk pada Tahun Maria 1988 di Maumere. Ketika itu Uskup Edu tampil sebagai salah seorang pembicara dalam seminar.
Uskup Edu memiliki daya ingat yang cukup kuat. Setelah sekian lama berpisah, saya bertemu kembali dengan beliau di Atambua, pada acara Panca Windu Uskup Atambua, Mgr. Anton Pain Ratu, SVD tahun 1998. Dia masih ingat nama saya.
Ketika saya pindah tugas di Ruteng tahun 2004, rasanya lebih dekat lagi dengan beliau. Kebetulan kakak saya, Romo Pit Kanis Ali, Pr, dipercayakan menjadi Kepala Sukma Ruteng waktu itu. Kakak saya tinggal di Istana Keuskupan Ruteng. Pertemuan saya dengan Uskup Edu semakin sering.
Suatu waktu, tepat pada hari ulang tahunnya, saya diundang makan bersama di Istana Keuskupan Ruteng. Saat itu Manggarai masih heboh dengan kasus penebangan kopi di Colol, Manggarai Timur. Semua orang tahu, Uskup Edu sangat mendukung program itu. Saat bincang-bincang di meja makan, Uskup Edu mengakui dukungannya semata-mata demi lingkungan. Uskup Edu tidak setuju hutan harus menjadi korban hanya karena tanaman kopi.
Pada saat pemerintah dan masyarakat Colol tidak sepakat soal lokasi penanaman kopi dalam kawasan hutan, Uskup Edu mengutus Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian, Romo Dr. John Boylon, Pr mendatangi warga sebagai mediator. Sudah hampir tercapai kata sepakat, peristiwa Rabu berdarah keburu meletus.
Pada saat itu, Uskup Edu tengah memimpin misa requiem untuk seorang pastor di Paroki Redong, yakni Pater Bernadus Jebabun, SVD. Dia langsung menyampaikan rasa turut berduka cita.
Pada saat syukuran keluarga saya di Reo, Uskup Edu pun rela menyiapkan waktu untuk memimpin misa. Tapi, dalam kebersamaan itu, saya menyadari bahwa Uskup Edu yang dulu saya kenal berperawakan tinggi dan kekar sudah termakan usia. Dia mengakui penyakit diabetes sudah lama menggerogoti tubuhnya. Cukup lama dia harus berhati-hati mengonsumsi makanan. Segala sesuatunya harus berdasarkan saran dokter.
Dalam kondisi seperti itu, Uskup Edu tetap tampil sebagai seorang pemikir. Banyak hal yang ia pikirkan. Malah dalam suatu kesempatan, beliau mengatakan ini. "Orang berpikir kalau bekerja di Jawa atau di Kupang, hidup mereka sudah lebih baik. Mereka sebenarnya tidak tahu banyak soal itu. Mereka yang bekerja di Jawa dan Kupang setiap tahun selalu menabung. Tabungan mereka akan ludes seketika manakala mereka kembali ke kampung di Manggarai. Jadi tidak gampang mengabdi di luar Manggarai," ungkapnya.
Itulah pembicaraan terakhir Uskup Edu dengan saya. Meski jauh, setiap kali Hari raya Paskah dan Natal, saya selalu mengirim salam melalui SMS. Dia membalasnya dengan doa dan berkat. Selamat jalan Yang Mulia. *

Tidak ada komentar: