Rabu, 15 Oktober 2008

Pesta dan Musik

 

Oleh Kanis Jehola

PESTA sambut baru (penerimaan komuni pertama dalam Gereja Katolik) sepertinya menjadi tren baru bagi umat Katolik beberapa tahun belakangan ini. Hampir setiap anak yang menerima komuni pertama pasti akan dirayakan dengan pesta. Tak terkecuali, dia anak pejabat atau anak petani miskin. Semuanya berpesta, meski acaranya dalam skala kecil.
Biasanya jauh-jauh hari sebelum sang anak menerima komuni, orangtua anak sudah mulai menyiapkan segala sesuatu untuk kepentingan pesta anaknya. Orangtua anak, bahkan seluruh anggota keluarga, sibuk mengurusi berbagai persiapan menyambut penerimaan komuni pertama atau sambut baru anak. Persiapan mulai dari kegiatan pembinaan di gereja, persiapan sumbangan, dan sebagainya.
Juga persiapan di luar gereja, seperti persiapan biaya untuk keperluan pesta, ternak yang akan dikorbankan untuk pesta, serta berbagai kebutuhan lainnya untuk pesta.
Dari pengamatan dan pengalaman selama ini, persiapan untuk kepentingan pesta justru jauh lebih sibuk, lebih menguras tenaga, biaya dan pikiran daripada persiapan rohani untuk menerima komuni di gereja.
Meskipun biaya dan tenaga untuk kepentingan pesta sambut baru itu dinilai lumayan tinggi, namun hampir semua orangtua anak tidak melihat itu sebagai beban. Sambut baru tetap menjadi pesta, dipestakan secara besar-besaran. Bahkan kini dinilai sebagai kewajiban orangtua terhadap anak-anaknya.
Dengan pandangan itu, maka meskipun secara ekonomis pelaksanaan pesta sambut baru itu dinilai sebagai pemborosan, tapi semuanya diusahakan dengan senang hati dan lapang dada. Apalagi pesta ini berkaitan dengan urusan keagamaan, berkaitan dengan urusan dengan Tuhan.
Aspek positif dari pelaksanaan pesta ini ialah memacu semangat orangtua anak untuk menyiapkan biaya bagi kepentingan pesta anaknya. Sebab umumnya pelaksanaan pesta sambut baru anak itu tidak dilakukan serta merta atau mendadak. Sambut baru direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Tiga atau dua tahun sebelum anak sambut baru, orangtua anak sudah mulai merencanakan secara matang berbagai hal yang dibutuhkan saat anaknya menerima komuni pertama nanti.
Biasanya umat Katolik yang merasa diri berkemampuan cukup, sedang atau pas- pasan, dia sudah menyiapkan dana untuk kepentingan pesta itu sejak jauh-jauh hari, sehingga begitu sambut baru tiba dan pesta akan dilaksanakan, orangtua anak tidak lagi dipusingkan dengan urusan mencari biaya untuk kepentingan pesta. Orangtua anak tinggal mengurus berbagai kelengkapan lain yang diperlukan dalam pesta itu.
Memang sulit dipungkiri bahwa masih ada sisi kurang bagus dari sambut baru yang terlalu luar biasa dipestakan. Aspek buruk pertama -- meski dalam skala kecil --- masih ada orangtua anak yang latah berpesta. Artinya, dia merayakan pesta anaknya karena melihat orang lain berpesta. Celakanya, karena sikap latah itu, orangtua rela berhutang kepada pihak lain, misalnya dengan meminjam uang di koperasi atau di bank hanya untuk merayakan anaknya yang menerima komuni pertama.
Aspek buruk kedua ialah bahwa berpesta tidak bisa dilepaspisahkan dengan musik. Pesta dan musik ibarat sayur dan garam. Tidak ada pesta yang tidak ada musik. Pesta tanpa musik terasa sangat sepi dan hambar, ibarat sayur tanpa garam.
Nah, masalah yang muncul di sini bukan soal musiknya, tapi volume musiknya. Semua tahu, bunyi musik pada acara pesta itu terdengar hingar-bingar. Bunyi musik yang terkesan bising dan melampaui daya serap indra pendengar adalah kesan umum yang selalu terjadi pada setiap acara pesta. Meski merasa terganggu dan memekakkan telinga, tapi hampir semua orang memaklumi saja dan tidak ada yang protes.
Dalam konteks ini, hal penting yang perlu diperhatikan oleh mereka yang berpesta adalah membunyikan musik yang 'ramah lingkungan'. Walaupun selama ini bunyi musik keras itu belum mendapat protes dari masyarakat lingkungan sekitar, tapi keseimbangan bunyi musik itu hendaknya perlu mendapat perhatian dari mereka yang berpesta.
Ini penting selain untuk keseimbangan hubungan dengan masyarakat lingkungan sekitar, juga untuk menghindari terjadinya musibah seperti yang terjadi di Balauring Lembata.
Contoh yang baik telah dimulai di Kabupaten Sikka. Setiap pesta dibatasi waktunya. Kita mungkin perlu belajar dan mencontohi Sikka dalam hal ihwal pesta. *

Tidak ada komentar: