Sabtu, 23 Februari 2008

Hamsi lapor Pranda ke KPK



JAKARTA, PK---Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Manggarai Barat rupanya tidak main-main dengan kasus proyek ubi aldira (land ras lumajang). Menindaklanjuti rekomendasi Pansus DPRD setempat, Ketua DPRD Mabar, Mateus Hamsi, Kamis (14/2/2008), melaporkan Bupati Manggarai Barat, Fidelis W Pranda, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Seperti disaksikan Pos Kupang, Hamsi tiba di KPK sekitar pukul 14.00 WIB bersama sekitar 50 massa yang menamakan dirinya Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Mapan). "Fidelis telah melakukan korupsi sejak menjadi Penjabat Bupati dari tahun 2003 hingga 2004, dan sebagai bupati sejak tahun 2005 hingga sekarang," kata Hamsi. Dia juga membagi-bagikan lembaran perihal kedatangannya kepada pers.
Dalam lembaran keterangan pers yang dibagikan itu, Hamsi memaparkan alasan dirinya melaporkan Bupati Pranda ke KPK, lengkap dengan 10 dugaan korupsi yang dilakukan. Total kerugian negara yang diduga dilakukan Bupati Pranda lebih dari Rp 85,5 miliar. Dugaan korupsi tersebut, Hamsi mengaku mendapat laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawas Propinsi (Banwas) NTT pada tanggal 28 Agustus 2004.
Dua dugaan korupsi Bupati Pranda, di antaranya pada tahun 2003-2004 pengadaan 26 kendaraan dinas yang dilakukan dengan penunjukan langsung dan kontrak belakangan, dengan kerugian sekitar Rp 4,42 miliar. Kemudian dugaan korupsi dana bencana alam senilai Rp 9 miliar yang pemanfaatannya tidak sesuai dengan peruntukan.
Seperti diberitakan harian ini sebelumnya, Pansus DPRD Kabupaten Mabar menemukan akumulasi keberhasilan proyek ubi kayu aldira pada 17 desa sasaran proyek atau semua areal penanaman hanya 4,75 %. Kondisi ini karena di beberapa daerah yang dilaporkan pemerintah sebagai lokasi proyek ternyata nihil atau tidak ada sama sekali selain ada yang sudah mati.
Sebelumnya, dalam surat penjelasan Bupati Mabar, Drs. Fidelis Pranda, kepada DPRD Mabar disebutkan, stek ubi aldira yang didatangkan ke Mabar sebanyak 12.350.000. Dari jumlah itu, terdapat 10.542.706 stek yang rusak atau tidak bisa ditanam antara lain karena mati kekeringan dan karena penundaan penanaman oleh petani atau kelompok tani.
Proyek ini adalah bentuk kerja sama Pemkab Mabar dengan Pemerintah China. Pemkab Mabar menghabiskan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Mabar 2007 senilai Rp 2,8 miliar. Ubi kayu jenis ini dikembangkan karena mengandung ethanol sebagai bahan bakar nabati (BBN). Dalam perjalanan, proyek ini menuai kritikan karena selain keberhasilan ubi itu sendiri dinilai rendah, juga karena pemasarannya tidak pasti. (persda network/bdu)


Lokasi proyek ubi kayu
--------------------------------
No Kecamatan ! Desa

1 Lembor ! Daleng, Kakor, Lalong, Watu Waja, Wae Wako, Wae Bangka, Pong Majok, Munting, Nangalili, Ngancar, Wae Mose, Pondu, Poco Ruteng, Ponto Ara dan Kelurahan Tangge
2 Welak ! Golo Rongot
3 Sano Nggoang ! Golo Leleng

Kronologi kasus ubi aldira:
---------------------------------------------------------

27 Oktober 2007: Sebanyak 3.861.682 stek ubi kayu aldira di Mabar diketahui mati akibat kekeringan dan dimakan ternak. Sementara 1.926.525 lainnya kerdil.
5 Desember 2007: Sebanyak 30 warga menggelar demo mempertanyakan hasil proyek ubi aldira. Namun, Bupati Fidelis Pranda mengatakan, hanya petani yang ikut mengembangkan ubi aldira yang berhak bicara, tidak semua warga.
7 Desember 2007: Puluhan warga Desa Golo Ronggot, Kecamatan Welak, menemui Bupati Pranda, meminta maaf. Pranda menegaskan bahwa tidak ada MoU dengan China untuk membeli ubi aldira di Mabar.
8 Desember 2007: Sekretaris Yayasan LPPDM Mabar, Avent Jalut menuding aksi demo puluhan warga Desa Golo Ronggot direkayasa oleh aktor intelektual di Labuan Bajo. Ubi aldira merupakan proyek yang dipaksakan.
10 Desember 2007: Bupati Pranda mengadakan panen perdana ubi aldira di Desa Watu Waja Lembor. Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki, Desa Watu Waja, Bertolomeus Onso, mempertanyakan pemasaran ubi tersebut.
13 Desember 2007: Pansus DPRD Mabar mengumumkan keberhasilan proyek ubi aldira berkisar 5 - 10 % atau hanya di bawah 10 %.
19 Desember 2007: Aparat Polres Manggarai Barat (Mabar) menyampaikana temuannya bahwa ada penyimpangan prosedur dalam proyek tanaman ubi Aldira. Indikasinya tampak pada waktu pendropingan stek dan tidak adanya sosialisasi kepada petani.
15 Januari 2008: Kapolres Mabar menyampaikan bahwa hasil lidik tahap pertama ubi aldira sudah dikirim ke Polda NTT.
16 Januari 2008: Puluhan warga yang tergabung dalam Lembaga Pengkajian dan Penelitian Demokrasi Masyarakat (LPPDM) dan Masyarakat Peduli Korupsi (MPK) menggelar demo di DPRD Mabar, mendesak Pansus segera mengumumkan hasil kerjanya kepada publik.
28 Januari 2008: Bupati Pranda menyatakan, temuan Pansus DPRD Mabar bahwa hanya 4,75 persen hingga lima persen proyek ubi kayu aldira berhasil harus dihitung dan dipertanggungjawabkan secara matematis.
29 Januari 2008: Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari) Ruteng di Labuan Bajo, Dwi Agus Arfianto, S.H, menyatakan telah memanggil dan memeriksa tiga pejabat dari Dinas Tanaman Pangan, Perkebunan dan Peternakan (TP3) Mabar.
3 Februari 2008: Para petani menyatakan sebanyak 3.687.767 stek ubi kayu aldira) mati karena ditanam tidak sesuai musim, dimakan ternak dan kekeringan.
4 Februari 2008: Panen kedua ubi aldira. Hasil panen 560 kg, total transaksi Rp 112 ribu. Harganya Rp 200 per kg. Petani kecewa, pemerintah tidak tepati janji harga Rp 300 per kg. Ketua DPRD Mateus Hamsi menuding pembeli sebagai lintah darat.
4 Februari 2008: Hasil panen ubi aldira 830,5 kilogram. Hasil panen ini sudah dijual dengan harga Rp 250,00/kg, sehingga total uang yang diperoleh Rp 207.625,00.
8 Februari 2008: Ketua DPRD Mabar, Mateus Hamsi meminta aparat kejaksaan dan kepolisian serius menyelidiki dugaan penyimpangan dana proyek ubi aldira yang menelan dana Rp 2,8 miliar.
14 Februari 2008: Mateus Hamsi bersama 50 warga Mabar melaporkan kasus ubi aldira di Mabar langsung ke KPK di Jakarta.
===============================
Sumber: Dokumentasi Pos Kupang/ati

Tidak ada komentar: