Kamis, 21 Februari 2008

Ramos Horta dirawat di Darwin

DILI, PK---Presiden Republik Democratic Timor Leste, Jose Ramos Horta, dievakuasi oleh militer Australia menggunakan pesawat militer menuju Darwin, Australia untuk mendapat perawatan, Senin (11/2/2008) siang sekitar pukul 14.00 waktu Dili.
Horta tertembak di perutnya dalam sebuah serangan bersenjata, Senin pagi oleh kelompok Mayor Alfredo Reinado. Di Darwin, Horta dirawat di The Royal Darwin Hospital (RDH). Menurut tim dokter yang merawatnya di Darwin, Horta mengalami luka serius akibat tembakan.
Menurut berita yang dilansir abc-news.com, dokter di RDH mengatakan ada tiga luka di tubuh Horta. Satu di perut dan dua di bagian dada. Tim dokter belum memastikan kapan Horta dioperasi.
Sementara pemimpin pemberontak, Mayor Alfredo Reinado, bersama seorang anggotanya tewas tertembak. Mayat Alfredo dengan seorang anggota itu telah diangkut sekitar pukul 12.00 waktu Dili ke Rumah Sakit National Gudo Valadares di Bidau. Hingga kemarin petang, belum ada keluarga kedua almarhum yang datang mengambil jenazah kedua korban yang dijaga ketat oleh pasukan Australia, GNR, UNPOL dan polisi Timor Leste.
Sementara Kota Dili dilaporkan tetap terkendali. Meski begitu, jalan-jalan tidak ramai seperti hari-hari sebelumnya. Hingga pukul 21.00 waktu Dili, jalan umum antara Distrik Baucau dan Dili belum bisa dibuka sehingga warga yang melakukan perjalanan darat masih tertahan. Aparat militer terus mengejar kelompok Alfredo dibantu oleh pesawat pengintai dari pasukan Australia.
Dalam pidato kenegaraannya, kemarin, PM Xanana Gusmao, meminta kepada para pengikut dan simpatisan Alfredo untuk tenang supaya masalah yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.
Di Australia, Kabinet Federal menyetujui untuk segera menambah lagi 120 pasukan untuk dikirim ke Dili. Menteri Luar Negeri Australia, Steven Smith, mengatakan, "Salah satu respons kita adalah menambah tentara dan polisi."
Perbatasan aman
Dari Atambua dilaporkan, situasi keamanan di wilayah perbatasan RI-RDTL pasca penembakan Ramos Horta aman dan terkendali. Hingga kemarin petang, belum ada eksodus warga dari RDTL masuk ke wilayah Indonesia. Meski begitu, antisipasi sudah dilakukan jajaran Polri dan TNI untuk membendung massa yang sesewaktu menyeberang.
Komandan Satuan Tugas Teritorial RI-RDTL, Letkol (Inf) Samuel Hehakaya, dan Komandan Pos Polisi (Pospol) Motaain, Bripka JJ Inacio, mengatakan hal ini ketika dihubungi Pos Kupang secara terpisah ke ponselnya masing-masing, Senin (11/2/2008).
Hehakaya menjelaskan, sesuai informasi yang diterimanya, kondisi Kota Dili tidak terlalu kondusif. Jajaran TNI akan berkoordinasi dengan Polri untuk siap siaga membendung arus eksodus bilamana itu terjadi.
"Untuk saat ini situasi di perbatasan RI-RDTL aman dan terkendali. Arus pelintas batas melalui pintu resmi di Motaain, Motamasin dan Metamauk berjalan seperti biasa. Memang kondisinya tidak banyak warga yang melintas seperti hari-hari sebelumnya. Namun secara keseluruhan wilayah perbatasan tetap aman dan kondusif," jelasnya.
Bripka Inacio juga menjelaskan, secara umum situasi di perbatasan RI-RDTL aman dan terkendali. Jajaran Polri tetap berusaha memantau situasi bilamana ada warga yang melintas melalui jalan tradisional (dulu istilahnya, jalan tikus --Red). "Untuk eksodus dalam jumlah banyak di RDTL bisa saja. Artinya mereka yang datang dari kecamatan-kecamatan ke Kota Dili. Tapi eksodus ke Atambua sampai sekarang tidak ada. Kita sudah pantau keliling tapi tidak ada dalam jumlah banyak," kata Inacio.
Kurang ketat
Di Jakarta, pengamat intelijen, Dynno Chressbon, mengatakan pengamanan terhadap Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta sangat lemah dibandingkan dengan pengamanan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Paspampres (pasukan pengamanan presiden) Indonesia itu termasuk 10 besar diakui di dunia. Sementara paspampres Timor Leste baru dua tahun lalu ikut pelatihan di Australia. Jadi wajar paspampres di sana masih lemah dan tidak terlatih dengan baik," kata Dynno kepada Pos Kupang, Senin (11/2/2008).
Menurut dia, Paspampres Indonesia memiliki kemampuan mengamankan VVIP dengan standar dan kualifikasi internasional. "Jadi tidak bisa dibandingkan," katanya.
Kata Dynno, kekerasan terhadap Presiden Horta merupakan akumulasi kekecewaan terhadap pemberontak terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai menyudutkan mereka. "Akhir tahun 2007 Horta minta mereka menyerahkan diri agar diberi pengampunan. Ketika terjadi perubahan politik, Horta jadi presiden dan membantah beri pengampunan kepada mereka tampa melalui pengadilan," katanya.
Dia juga mengatakan, kehadiran pasukan asing di Timor Leste memancing pemberontak melakukan aksi brutal dan nekat. "Itu adalah sikap frustasi deserse terhadap kebijakan Horta. Para desertir menunjukkan tidak suka terhadap hubungan pemerintah Horta dengan keberadaan pasukan Australia di Timor Leste," katanya. (abc/kcm/yon/persdanetwork)

Tidak ada komentar: