Rabu, 05 Maret 2008

Medah: Saya cagub dari Golkar

KUPANG, PK--Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Golkar Propinsi NTT, Drs. Ibrahim Agustinus Medah menyatakan, dirinya menjadi calon gubernur (cagub) NTT yang diusung Partai Golkar untuk bertarung dalam Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) NTT 2008.
"Sesuai dengan hasil LSI (Lembaga Survei Indonesia) terakhir dan dari regulasi yang ada, tidak ada tawaran lagi. Saya menjadi kandidat yang dicalonkan dari Partai Golkar NTT untuk bertarung dalam pilkada Gubernur NTT," tegas Medah, saat ditemui di Hotel Cahaya Bapa - Kupang, Sabtu (1/3/2008), usai pelantikan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk Pilgub NTT.
Medah yang juga menjabat Bupati Kupang ini berulang kali menegaskan bahwa dirinya cagub dari Partai Golkar. "Sampai saat ini tidak ada aturan yang diubah. Saya menjadi kandidat yang diusung dari Golkar," katanya.
Ditemui di Kantor Bupati Kupang, Wakil Ketua Biro Pemenangan Pilkada Partai Golkar NTT, Gustaf Jacob, S.H mengatakan, "Golkar pasti mencalonkan Medah sebagai calon gubernur."
Menurut Gustaf, rapat pimpinan daerah khusus (Rapimdasus) Partai Golkar NTT yang akan digelar dalam waktu dekat tidak berkutat pada masalah pemilihan calon, tetapi sebagai forum deklarasi Medah sebagai cagub.
Menyinggug status Medah sebagai tersangka dalam kasus kapal ikan, Gustaf mengatakan, hal itu bukan merupakan kendala. Gustaf menyatakan, penetapan status tersangka tidak ada karena secara hukum belum ada izin dari presiden untuk memeriksa Medah. "Bagaimana tidak ada izin untuk pemeriksaan lalu ditetapkan sebagai tersangka. Golkar tentu juga telah siap untuk masalah seperti itu," kata Gustaf.
Belum diketahui apakah hasil LSI terakhir yang dimaksudkan IA Medah, sama dengan hasil LSI yang beredar, sebagaimana dilansir Pos Kupang (Kamis, 21/2/2008). Hasil LSI yang dilansir Pos Kupang menyatakan, Victor Bungtilu Laiskodat, S.H, anggota DPR RI yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar NTT, unggul popularitas dari Drs. Ibrahim A Medah (Ketua DPD Partai Golkar NTT) dalam survai bakal calon gubernur NTT.
Dari enam indikator yang digunakan dalam survai, Laiskodat unggul lima indikator atas Medah. Lima indikator tersebut adalah kemungkinan terpilihnya kandidat (15,6 persen), image/jujur (8,9 persen), media sosialisasi dengan menggunakan kalender/stiker/poster/selebaran (53,7 persen), media sosialisasi dengan menggunakan spanduk/baliho (51,3 persen) dan indikator awareness (kenal) terhadap tokoh (55,2 persen).
Laiskodat juga unggul atas Drs. Frans Lebu Raya (Wakil Gubernur NTT/calon gubernur NTT dari PDIP) pada indikator media sosialisasi dan awareness. Itu lebih dikarenakan Laiskodat sangat gencar dalam pengerahan alat sosialisasi. Medah unggul atas Laiskodat pada indikator tentang top of mind (Medah 10,4 persen; Laiskodat 10,2 persen).
Sementara Lebu Raya unggul atas Laiskodat pada indikator kemungkinan terpilihnya kandidat. Setelah dilakukan sebanyak lima kali, suara Lebu Raya meningkat relatif lebih besar dibandingkan kandidat lain. Lebu Raya juga unggul pada indikator top of mind (17,8 persen).
Hasil LSI tersebut dibantah secara berturut-turut oleh Cyrilus Bau Engo (Sekretaris DPD I Partai Golkar NTT), Drs. Hendrik Rawambaku (Wakil Ketua DPD I Partai Golkar NTT) dan Gustaf Jacob, S.H (Wakil Sekretaris DPD I Partai Golkar NTT).
Ketiganya mengatakan, hasil LSI yang dikabarkan telah beredar masih sebatas isu karena sampai saat ini DPD Partai Golkar NTT belum menerima hasil LSI. "Isu itu dikembangkan berdasarkan kepentingan-kepentingan subyektif, dan untuk menguntungkan orang lain. Karena, sampai saat ini, fakta hasil LSI belum ada," kata Gustaf, saat itu.
Bantahan terakhir datang dari Koodinator Wilayah Partai Golkar NTT, Enggar Lukito. "DPP belum juga mengirim hasil LSI kepada DPD (maksudnya Partai Golkar NTT). Lagi pula, hasil LSI itu bukan untuk dipublikasi," kata Enggar saat dihubungi ke hand phonenya, Selasa (26/2/2008). (ely)
--pasang foto frans tulung dan hans louk--
DPRD NTT gamang
gunakan aturan
n Bentuk panwas pilgub
DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) NTT dinilai gamang dalam menggunakan aturan untuk mendasari pembentukan Panitia Pengawas (Panwas) Pemilihan Umum (Pemilu) Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) NTT .
Demikian pandangan praktisi hukum, Frans Tulung, S.H, saat ditemui di kediamannya di Oebufu, Kupang, Sabtu (1/3/2008). Ia dimintai tanggapannya mengenai proses pembentukan Panwas Pilgub NTT oleh DPRD NTT dengan berpijak pada dua dasar hukum, yang justru membingungkan.
DPRD NTT menggunakan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu untuk membatasi jumlah keanggotaan panwas, sementara mekanisme perekrutannya mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
"Jangan kita bergerilya dengan undang-undang. Jangan membuang badan kepada undang-undang hanya mencari legitimasi. Kalau ada dikotomi seperti itu, semestinya mencari penegasan, misalnya berkonsultasi kepada Mendagri. Tidak bisa buat penafsiran bebas terhadap aturan. Jangan sampai panwas bekerja dengan suatu dasar aturan yang gamang dan kontradiksi," tegas Frans.
Untuk diketahui, UU No.22/2007 mengatur jumlah anggota panwas tiga orang. Ketiganya dari kalangan profesional. Aturan itu juga mengatur anggota panwas pemilu tingkat propinsi direkrut oleh Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) Pusat, jika Banwaslu sudah terbentuk. Dalam UU No.22/2007 tidak menyatakan kewenangan membentuk panwas ada pada DPRD. Dengan demikian, DPRD NTT tidak berwenang membentuk panwas jika menggunakan rujukan UU No.22/2007.
Pada ketentuan peralihan, pasal 129 UU No.22/2007, menyatakan bahwa : dalam hal penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang akan berlangsung sebelum terbentuknya Banwaslu berdasarkan UU ini, pembentukan panwas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum UU diundangkan.
Fakta menunjukan bahwa di tingkat pusat, Banwaslu belum terbentuk. Itu artinya proses pembentukan panwas mengacu pada UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, beserta petunjuk pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
UU No.32/2004 mengatur anggota panwas lima orang, terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, tokoh masyarakat, pers dan akademisi. Unsur kepolisian dan kejaksaan ditunjuk langsung, sementara tiga unsur lainnya direkrut. Kewenangan perekrutan ada pada DPRD.
Dihentikan sementara
Frans mengatakan, karena ada kegamangan dalam penggunaan aturan, maka ia mengusulkan agar proses rekruitmen anggota Panwas Pilgub NTT dihentikan sementara. "Proses dihentikan dulu. Jangan bernafsu dulu. Kita perlu mencari format yang melegitimasi panwas layaknya seperti apa. Jangan sampai nanti dalam perjalanan kita kehilangan dasar pijak. Segala macam bergerak di dua alur. Nanti kalau ada perubahan baru kita berakrobat lagi," kata Frans.
Ia juga menyatakan keheranannya karena panwas pemilu bupati dan wakil bupati Sikka lima orang sementara panwas Pilgub NTT hanya beranggota tiga orang. "Di kabupaten lain, propinsi lain. Mau pegang apa," katanya.
Beberapa anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi NTT juga menilai langkah yang diambil DPRD NTT memproses pembentukan panwas pilgub keliru. "UU No 22/2007 itu memang mengatur anggota panwas tiga orang dan kewenangan pembentukannya oleh Banwaslu bukan DPRD. Karena sampai sekarang Banwaslu belum terbentuk maka proses pembentukan panwas mengacu pada UU No.32/2004, sebagaimana diatur dalam ketentuan peralihan pasal 129 UU No.22/2007. Dengan mengacu pada UU No. 32/2004, itu artinya, kewenangan membentuk panwas ada pada DPRD. Kalau merujuk pada UU No.22/2007, DPRD tidak berwenang membentuk panwas," kata Hans Louk, saat ditemui di Sekretariat KPU NTT, Sabtu (1/3/2008).
Hans menegaskan, DPRD jangan ambil separuh dari UU No. 22/2007 dan separuh dari UU No. 32/2004. Semestinya, demikian Hans, kalau bingung sebaiknya berkonsultasi ke Mendagri.
Hans mengakui bahwa dalam Permendagri No. 44/2007 mengatur pembiayaan hanya untuk tiga anggota panwas, yang dibentuk oleh Banwaslu. Bukan panwas yang dibentuk oleh DPRD dengan mengacu pada UU No.32/2004. "Apa hanya dengan dasar Permendagri No. 44/2007 lantas DPRD ambil alih kewenangan Banwaslu untuk membentuk panwas? Apa permendagri bisa mengalahan UU"? tanya Hans. (aca)

Tidak ada komentar: