Rabu, 12 Maret 2008

Rote KLB gizi buruk, warga diperintahkan lapor pemerintah

Edisi 9 Maret 2008

BA'A, PK---Bupati Rote Ndao, Christian Nehemia Dillak, S.H, melalui Wakil Bupati Rote Ndao, Bernad Pelle, S.Ip, Sabtu (8/3/2008), mengeluarkan surat perintah meminta masyarakat melaporkan jika ada warga yang mengalami gizi buruk atau kurang gizi. Semua kepala dinas, kepala badan, para camat, kepala puskesmas, para bidan, Ketua Tim Penggerak PKK, kepala desa, dan lurah juga diminta proaktif melaporkan kondisi warganya.
Surat dengan identifikasi khusus/bpt/2008 itu tertanggal Sabtu, 8 Maret 2008 itu dikeluarkan menyusul penetapan Kabupaten Rote Ndao sebagai daerah kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk. Seperti diberitakan kemarin, Kabupaten Rote Ndao dinyatakan KLB gizi buruk setelah ditemukan sejumlah anak yang mengalami gizi buruk, kurang gizi dan marasmur. Terhitung Januari - Maret 2008 telah lima anak yang meninggal akibat gizi buruk.
Dalam surat instruksi Bupati Rote Ndao yang diterima Pos Kupang, Sabtu (8/3/2008), tersebut, Pelle merincikan jumlah gizi buruk dengan kelainan klinis sebanyak 15 orang balita, dan tiga di antaranya meninggal dunia. Sementara jumlah gizi buruk tanpa kelainan klinis sebanyak 138 balita dan gizi kurang 940 balita. Pemerintah Kabupaten Rote Ndao juga menggelar rapat koordinasi lintas sektor, kemarin, dengan melibatkan semua instansi pemerintah setempat.
Melalui surat itu, Pelle juga menginstruksikan untuk mengaktifkan posyandu sesuai jadwal yang telah ditetapkan, melakukan pendataan ulang terhadap balita. Para penderita yang tidak bisa ditangani oleh pustu dan puskesmas diminta merujuk ke RSUD Ba'a dan segala perawatan yang ditimbulkan akibat rujukan ditanggung pemerintah.
Sementara itu, Asisten II Setkab Rote Ndao, Daniel Follabessy, yang dihubungi terkait penanganan gizi buruk usai mengikuti rapat koordinasi bersama dinas terkait mengatakan, pemerintah terus melakuan penyisiran balita gizi buruk untuk dirawat di RSUD Ba'a. "Rapat koordinasi terus kita lakukan setelah ditetapkan menjadi KLB. Karena itu, kita terus melakukan penyisiran dengan mengaktifkan semua posyandu, para kepala puskesmas, bidan desa dan masyarakat termasuk para kades, luran dan camat," kata Folabessy.
Sementara Direktur RSUD Ba'a, dr. Delly Pasande, didampingi Kepala Pelayanan, dr. Rina Sudjiawati, sebelum mengikuti rapat koordinasi mengakui sedang melakukan penanganan kepada dua penderita gizi buruk dan satu gizi kurang. "Saat ini kita sedang tangani dua penderita gizi buruk dan satu gizi kurang. Mereka ditangani dengan formula 100. Namun khusus untuk Ivan Henuk (1,1) yang terkena marasmur menggunakan formula 75," kata dr. Rina.
Mengenai perkembangan ketiga penderita tersebut, dr. Rina mengakui untuk melihat perkembangan mereka butuh waktu 30 hari. "Kita baru bisa lihat perkembangan mereka setelah 30 hari penanganan. Namun setiap hari ada penambahan gizi 50 miligram/kilogram berat badan/minggu," katanya.
Ditanya soal keluhan para orangtua pasien yang merasa bahwa perawatan terhadap anak gizi buruk jarang ada perkembangan, Dirut RSUD, Delly Pasande, mengatakan, rata-rata anak-anak penderita gizi buruk yang masuk ke RSUD tidak hanya menderita gizi buruk, namun diikuti penyakit penyerta yang umum seperti malaria dan TB paru.
"Memang penanganan penderita gizi buruk tidak serta merta langsung sehat, namun perlu penanganan khusus karena mereka mengalami komplikasi. Dan, keluhan itu memang ada, namun bukan soal penanganan anak tapi soal ibu dari anak yang sebelumnya tidak beri makan. Dan, memang anggaran kita untuk orangtua pasien tidak ada sehingga yang kita siapkan hanya untuk pasien. Namun tahun ini, kita anggarkan untuk ibu dari pasien. Jadi, cukup hanya untuk satu orang penjaga pasien," kata dr. Delly.
Selain itu, dr. Delly juga mengakui bahwa RSUD Ba'a masih mengalami kekurangan perawat sehingga tidak bisa menangani pasien secara ekstra seperti yang diharapkan orangtua. "Di bangsal anak hanya satu orang perawat sehingga ketika banyak pasien, ia harus melayani semua anak yang ada. Kondisi ini membuat para orangtua kadang merasa mereka tidak terlayani," kata dr. Delly dibenarkan dr. Rina. (iva)

Sayang anak, bawa ke rumah sakit
KELURAHAN Metina merupakan salah satu kelurahan yang berada di jantung Kota Ba'a. Di kelurahan ini sudah dibangun berbagai fasilitas walau belum sebaik di kota-kota besar. Fasilitas jalan, jembatan, pertokoan, pasar dan lainnya telah ada, sama seperti kota-kota lain.
Tetapi dari kelurahan ini tergambar begitu banyak ketimpangan. Infrastruktur pendukung seperti jalan raya masih jauh dari yang diharapkan. Kehidupan ekonomi warganya juga masih sangat memrihatinkan. Dan, sejumlah penderita gizi buruk, kurang gizi, bahkan marasmur ditemukan di kelurahan ini.
Warga di kelurahan ini umumnya berprofesi sebagai buruh toko, buruh laut dan pekerja serabutan lainnya. Rumah-rumah mereka masih cukup kumuh. Banyak yang dibangun di wilayah longsoran. Pada pertengahan Februari 2008 lalu banyak rumah warga terancam longsor karena hujan lebat dan berkepanjangan.
Kondisi serba minor ini tambah parah ketika ditemukan beberapa anak kecil di kelurahan ini mengalami gizi buruk, kurang gizi, bahkan marasmur.
Lama tak terendus, Kamis (6/3/2008), ketika rombongan Wakil Bupati Rote NDao, Bernad Pelle, menyusuri kelurahan ini mencari penderita gizi buruk, apa yang sesungguhnya terjadi jadi telanjang di depan mata. Banyak anak di sini masih memrihatinkan derajat kesehatannya. Gizi buruk, gizi kurang telah menjadi litani hidup harian mereka.
Dalam penelusurannya, rombongan Wabup Pelle menemukan ada dua pasien gizi buruk. Ironisnya, kedua pasien ini belum dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan. Ketiadaan uang jadi alasan mengapa para orangtua lebih memilih merawat anaknya di rumah ketimbang membawanya ke rumah sakit.
Kondisi sulit ini diakui Rofinus Manehat (45). Di rumahnya yang kecil berukuran sekitar 3 x 5 meter dengan atap seng, dinding yang dirangkai dari papan-papan bekas dan berlantai tanah, Rofinus tinggal bersama istri dan sembilan orang anak. Anaknya yang tertua berumur 14 tahun dan sudah putus sekolah dasar sejak tahun 2005 lalu. Sedangkan anak bungsunya, Rehan Manehat, berumur lima bulan. Rehan dan kakaknya Wilhelmina (1,5) mengalami gizi buruk, mendekati marasmur.
Kondisi rumahnya juga masih jauh dari standar kesehatan. Sempit, beratap rendah nyaris menyentuh tanah membuat udara dalam rumah ini terasa gerah dan pengap. Tetapi di rumah inilah si kecil Wilhelmina duduk di atas kursi kayu ruang depan terus menangis karena menderita ispa. Ketika disapa Wabup Bernard Pelle, Wilhelmina hanya bisa membalasnya dengan menangis. Dia menangis menahan derita.
Pelle hampir tak percaya ketika mengetahui bahwa banyak anak-anak itu yang belum dirujuk ke rumah sakit. "Kamu sayang anak tidak? Kalau sayang anak sekarang juga bawa anak ke rumah sakit. Tidak ada pungutan biaya," kata Bernad Pelle dan diiyakan Rofinus.
Kesembilan anak Rofinus berjarak pendek. Saat mereka berdiri berjejer, sulit membedakan mana kakak mana adik. Salah seorang anak yang baru berumur enam tahun menggendong adik bungsunya bernama Rehan. Anak-anak itu berpakaian compang-camping. Yang kakak baru saja selesai menyuap adik-adiknya yang kecil. Menunya teramat sederhana, nasi dicampur air gula. Piring plastik berwarna hijau bekas nasi tanpa sendok tergeletak begitu saja.
Sungguh memrihatinkan. Keprihatinan itu bertambah lagi manakala diingat bahwa Metina adalah kelurahan di jantung Kota Ba'a, Ibu kota Kabupaten Rote Ndao.
Selain keluarga Rofinus, Keluarga Otniel Henukh (26) dan istrinya Martina Henuk (26) juga mengalami nasib yang sama. Keluarga ini sudah memiliki enam orang anak, tetapi masih ingin menambah lagi. Padahal anak bungsu mereka, Ivan
Henuk, didera marasmus yang berkepanjangan. Kondisi Ivan sangat mengenaskan. Ia seperti anak-anak Ethopia yang jadi korban perang dan tidak makan bertahun-tahun. Badannya tinggal kulit membungkus tulang. Tulang rusuknya menonjol. Dengan mata telanjang bisa dihitung tulang-tulang rusuknya. Kepalanya kecil, matanya besar dan melotot keluar. Perutnya juga kembung. Kakinya tidak bisa menopang tanah.
"Sudah enam bulan lalu kami berhenti ke rumah sakit karena tidak ada uang. Pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan suami sebagai buruh di toko perbulan paling banyak Rp 100 ribu dan paling kurang Rp 60 ribu. Uang ini kami gunakan untuk makan sehari-hari sehingga tidak bias membawa anak kami ke rumah sakit," kata Ny. Martina Henuk sambil menangis dan mengakui kalau pihaknya tidak mendapat kartu sehat dan juga beras raskin tersebut.
Mendengar cerita Ny. Martina, Wabup Pelle jatuh iba. Pelle kemudian meminta saat itu juga anaknya langsung dibawa ke rumah sakit dan tidak ada pungutan biaya pengobatan untuk anaknya. "Kamu sayang anak tidak? Kalau sayang anak, sekarang bawa ke rumah sakit, saya sudah minta ambulansnya datang jemput," kata kata Pelle. (sarifah sifat)

Tidak ada komentar: