Rabu, 12 Maret 2008

Penderita gizi buruk dirawat di RSUD Baa

Edisi 13 Maret 2008
BA'A, PK-- Sebanyak 22 anak penderita gizi buruk terhitung Januari-Februari 2008, 12 di antaranya dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ba'a, sejak Selasa (11/3/2008) malam. Diperkirakan pasien gizi buruk akan bertambah setelah dilakukan penyisiran oleh Wakil Bupati Rote Ndao, Bernad Pelle, S.Ip, sejumlah petugas medis dan aparat pemerintahan, masyarakat dan para kepala desa pada lokasi berbeda.
Disaksikan Pos Kupang di RSUD Ba'a, Rabu (12/3/2008) pagi, 12 anak penderita gizi buruk dirawat di bangsal anak. Sementara di ruangan penitipan di bangsal orang dewasa juga penuh. Manajemen RSUD Ba'a saat ini sedang membersihkan ruangan kosong untuk menempatkan pasien penderita gizi buruk karena di bangsal anak sudah penuh.
Sejumlah balita tergolek lemas di atas tempat tidur. Kondisi tubuh mereka umumnya memprihatinkan, bukan saja karena kurus, tapi badan mereka juga kotor. Pakaian yang mereka pakai seadanya. Apalagi, saat dalam perawatan anak-anak ini kencing tanpa diperhatikan sehingga tercium bau tak sedap di bangsal anak dan bangsal orang dewasa yang sedang ditempati pasien gizi buruk. Sementara orang tua pasien lebih memilih duduk di luar ruangan ketimbang menjaga anak-anak mereka di dalam ruang perawatan.
Sebanyak 16 anak yang dijemput dari Ndao, lima di antaranya menderita gizi buruk dan satu mendekati gizi buruk, sedangkan 10 lainnya gizi kurang. Kondisi ini juga sangat berpengaruh terhadap proses pelayanan di RSUD Ba'a. Banyak orang tua yang diikutsertakan sehingga rumah sakit itu penuh dengan manusia.
Pelayanan jatah makan untuk orang tua yang anaknya tidak masuk kategori gizi buruk ditalangi darurat oleh Dinas Sosial Rote Ndao, dan untuk penderita gizi buruk bersama satu orang tua yang mendampingi pasien ditanggulangi manajemen rumah sakit. Soal makan ini masih dipersoalkan oleh sejumlah orang tua pasien. Walau sudah dikasih makan, para orang tua pasien merasa belum makan karena takaran makanan yang dikasih menurut mereka kurang dan seperti takaran anak-anak karena ukuran makan orang desa berbeda dengan orang kota.
Direktur RSUD Ba'a, dr. Delly Pasande, M.MR, yang dihubungi di ruang kerjanya, Rabu (12/3/2008), mengatakan, saat ini manajemen sedang mempersiapkan sejumlah ruangan untuk penampungan anak-anak penderita gizi buruk. "Kemungkinan pasien akan terus bertambah. Kondisi saat ini sudah 22 anak gizi buruk yang dirawat. Perawatan diprioritaskan anak-anak penderita gizi buruk yang disertai dengan kelainan klinis. Sedangkan beberapa anak yang mengalami gizi kurang kami kembalikan ke puskesmas untuk melakukan penanganan,"kata Delly, yang didampingi Kepala Pelayanan RSUD Ba'a, dr. Rina Sudjiawati.
Mengenai orang tua pasien yang mengeluh porsi makan mereka kurang, Delly mengatakan, setelah mendengar keluhan orang tua pasien soal makan, para petugas langsung diperintahkan untuk memberi orang tua pasien makanan dengan takaran cukup banyak.
"Memang makan ini, kebiasaan rumah sakit memberikan makan dengan takaran yang menurut petugas itu pas untuk orang dewasa. Namun, kami menyadari bahwa ada perbedaan takaran makan pada masing-masing orang sehingga saat mendengar keluhan keluarga pasien, saya minta ke petugas untuk memperbanyak takaran makan," ujarnya.
Ditanya persediaan makanan untuk pasien termasuk obat-obatan, Delly mengatakan, makan pasien dan satu orang keluarga pasien cukup termasuk obat-obatan. "Standar pelayanan pasien di RSUD sudah ada sehingga obat dan makanan selalu aman," tambahnya.
Penanggungjawab bangsal anak, Dewi Sri, H, AMd, Kep yang mengakui tiga orang anak warga Metina saat ini sudah mengalami perubahan, terutama Ivan (13 bulan) yang sebelumnya berat badannya 4 kg saat ini sudah naik 4,8 kg. Rehan Manehat ( 4 bulan) yang sebelumnya 3,1 kg saat ini naik jadi 3,4 kg dan Renita Manehat (bukan Welhelmina Manehat, Red) umur 17 bulan berat badannya 7,1 kg dari sebelumnya 6,2 kg. "Kondisi anak-anak itu sudah membaik. Mereka sudah bisa tertawa dari sebelumnya jarang tertawa," kata Dewi.
Kepala Bagian (Kabag) Sosial Setkab Rote Ndao, Julius Tulle yang ditemui di RSUD Ba'a mengatakan, ia sedang berkoordinasi dengan pihak rumah sakit untuk memulangkan sekitar delapan pasien gizi kurang ke Ndao untuk ditangani di Puskemas Ndao.
Dijelaskannya, Dinsos Rote Ndao sejak Selasa (11/3/2008) memberikan bantuan kepada 15 orang anak di Rote Tengah dan Ndao yang diantar langsung Wakil Bupati Rote Ndao, Bernad Pelle. Untuk Rote Tengah lima balita dan Ndao 10 dengan masing-masing anak mendapat bantuan 10 kg beras, 21 butir telur, satu liter minyak bimoli, susu dancow 400 gram, ikan kaleng 14 botol.
Sebanyak 301 posyandu dengan jumlah anak mencapai ribuan di Kabupaten Rote Ndao, Rabu (12/3/2008) melakukan posyandu serempak. Umumnya para balita yang mengikuti posyandu hanya ditimbang dan diukur tinggi badannya tanpa disertai pemberian makanan tambahan (PMT).
Pantauan di sejumlah posyandu di Kota Ba'a, para kader dan bidan yang datang ke posyandu hanya memberikan pelayanan posyandu dengan menimbang berat badan anak dan tinggi badan anak. Nampaknya, orang tua di Kota Ba'a cukup antusias membawa anak-anak mereka ke posyandu, namun mereka mengeluhkan tidak mendapat makanan tambahan termasuk vitamin. "Bosan juga kami bawa anak ke posyandu, tidak ada makanan tambahan. Bidan dan kader hanya bisa timbang. Padahal anak kami kurus, kami juga orang susah. Mau bawa anak ke posyandu atau urus cari makan," kata beberapa orang tua pasien yang enggan menyebutkan namanya. (iva)




"Kami belum bisa kasih makan seimbang ...."

TATAPAN mata mereka sayu. Wajah mereka pucat pasi, tubuh mereka kecil dan tulang badan terlihat bak kulit pembalut tulang. Saat mereka tidur, wajah mereka menengadah ke atas atap ruang RSUD Ba'a yang cukup sederhana itu. Dari wajah mereka terlihat kepolosan, seakan mereka mengharapkan agar segera mendapat pertolongan dan sembuh sehingga mereka dapat bermain, tertawa, berlari-lari seperti anak-anak lainnya yang karena kemampuan orang tua mereka.
Kalau saja kita bisa bertanya kepada mereka di saat mereka sedang tergolek lemas di tempat tidur rumah sakit karena gizi buruk akibat kekurangan makanan yang diikuti penyakit klinis lainnya, dengan pertanyaan apakah kamu ingin dilahirkan? Pasti si bocah-bocah ini akan menjawab, kami tak sanggup hidup seperti ini dan tidak ingin dilahirkan. Karena kami dilahirkan hanya untuk menderita.
Padahal di satu sisi, kita butuh generasi penerus sebagai pewaris bangsa. Dan, ditangan mereka ada keberlangsungan hidup. Mereka adalah tulang punggung negara, harapan bangsa di masa depan. Tetapi, mereka menderita karena kemismiskinan. Tidak tahu, apakah mereka ditakdirkan untuk miskin? Atau karena mereka malas sehingga harus miskin? Atau juga karena orang tua mereka banyak anak ataukan ada tangan lain yang ikut memiskinkan mereka?
Sederetan pertanyaan ini belum bisa terjawab di kabupaten terselatan Indonesia ini. Karena itu, hingga saat ini, angka gizi buruk diperkirakan terus meningkat dan ditahun 2007 ada sebanyak 138 anak menderita gizi buruk dan 940 gizi kurang. Angka ini belum dihitung apakah berkurang atau naik di tahun 2008.
Ketika memasuki RSUD Ba'a yang saat ini terus melakukan pembenahan perbaikan fisik rumah sakit dan kualitas tenaga mendisnya, pada bangsal anak mata kita langsung tertuju pada belasan anak yang terbaring lesu. Beberapa diantaranya, Ivan Henuk (13 bulan) Rehan Manehat ( 4 bulan), Renita Manehat (bukan Welhelmina Manehat, Red) umur 17 bulan, Glen Fallu (2, 1 tahun) yang berat badannya masih 8,5 kg, Marsinda Kotte (3 tahun) berat badan 12 kg, Nadia Loasana (1,2 tahun), Morris Tullu (1,2 tahun) 7,9 kg, Melisa Toulasik (4 tahun) 8 kg, Polce Haning (2,1 tahun) 6 kg.
Umumnya anak-anak yang berumur satu tahun dan yang mendekati dua tahun belum bisa berjalan. Kaki mereka belum bisa menopang badan mereka walau anak seusia mereka mestinya sudah harus bisa berjalan. Namun apa hendak dinyana, fakta yang ada anak-anak yang malang ini hanya bisa meratapi hidupnya diatas pasungan orang tua mereka.
Kaki tangan mereka saat berada di rumah sakit pun masih terlihat kotor, pakian mereka seadanya bahkan satu dua orang diantara mereka masih memakai pakian robek. Mungkin
orang tuanya sibuk cari makan sehingga tidak bisa merajut baju anak-anaknya atau karena tidak ada jarum. Semuanya ini terus menjadi tanda tanya?
Banyak pejabat ketika berada di Gedung DPRD Kabupaten Rote Ndao saat hendak membahas RAPBD, ketika membaca koran dan mengikuti pemberintaan di media cetak dan elektronik seakan tak percaya kalau di Rote Ndao ada penderita gizi buruk. Mereka tidak percaya di Pulau Rote ada penderita gizi buruk. Namun, saat ini ada fakta bahwa sudah ada balita meninggal karena gizi buruk dan 20-an masuk rumah sakit karena menderita hal yang sama.
Ada yang mengeluarkan pernyataan bahwa gizi buruk karena masyarakatnya malas. "Gizi buruk itu ada karena orang tuanya malas,"kata salah seorang kepala bagian di Pemkab Rote Ndao. Namun, ada yang berpendapat, gizi buruk karena program di dinas kesehatan selama ini tidak jalan. Banyak dana untuk PMT diembat oleh orang-orang tertentu. Tidak ada koordinasi antara dinas kesehatan, puskesmas dan bidan yang berada di pustu-pustu serta sejumlah pendapat lain termasuk ada yang menyalahkan wartawan kalau pemberitaan itu dibesar-besarkan. Ironis memang.
Sejak Senin-Rabu (10-12/3/2008), para tenaga medis di RSUD Ba'a terus siaga menunggu kedatangan para pasien gizi buruk setelah pemerintah menetapan status gizi buruk menjadi KLB. Rapat koordinasi terus dilakukan, namun saat pasien masuk dengan jumlah yang cukup banyak pada hari yang bersamaan, para tenaga medis ini pun kelabakan.
Nampak mereka bekerja keras melayani anak-anak pendrita gizi buruk. Belum lagi melayani orang tua pasien. Wajah para tenaga medis pun nampak lesu karena tidak ada jam istirahat, mereka bekerja hingga larut malam, walaupun ada beberapa yang bukan jadwal jam jaga mereka.
"Sebagai manusia biasa saat menghadapi pasien dengan jumlah yang cukup banyak dan dengan berbagai keterbatasan kami sedikit kedodoran memberikan pelayanan. Mungkin ada keluarga pasien yang kesal, tapi kami juga capai. Karena keluarga pasien semuanya masih mengharapkan perawat. Padahal jumlah kami sangat terbatas. Namun, tidak apa-apa semuanya harus kami hadapi. Ini juga karena keterbatasan pengetahuan dan sejumlah faktor lainnya," kata dr. Dewi Sri, H, AMd, Kep.
Mellisa Toulasik yang berusia empat tahun namun berat badannya hanya 8 kg, hanya bisa pasrah tidur di atas dipan. Ibunya, Ny. Tolasik menemani tidurnya sambil makan di sampingnya walaupun di ruangan itu tercium bau tak sedap. "Sudah lama anak saya sakit, tidak tahu sakit apa. Kami sering bawa ke posyandu tapi sakitnya belum sembuh-sembuh. Kami belum bisa kasih makanan seimbang bagi anak-anak kami," tutur Ny. Tolasik tanpa menyebutkan jumlah anaknya. (iva)

Tidak ada komentar: