Rabu, 12 Maret 2008

Rote KLB gizi buruk

Edisi 8 Maret 2008

BA'A, PK -- Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rote Ndao menetapkan kasus gizi buruk di kabupaten itu sebagai kejadian luar biasa (KLB). Kasus ini telah merenggut nyawa lima orang anak terhitung Januari-Maret 2008.
Penetapan ini dilakukan Wakil Bupati, Bernad Pelle, setelah mendengar penjelasan dari Kepala Dinas Kesehatan (Kadis) Rote Ndao, dr. Jonathan Lenggu, Kamis (6/3/2008), bahwa kasus ini mengalami peningkatan tajam. Menurut Lenggu, pada tahun 2008 kasus ini menyerang 144 anak dari tahun sebelumnya 138 anak. Angka ini dinilainya cukup tinggi dan menjadi ancaman.
Mendengar penjelasan ini, Wakil Bupati, Bernard Pelle tercengang. Ia kemudian menetapkan kasus gizi buruk sebagai KLB. Namun demikian, penetapan kasus gizi buruk menjadi KLB ini belum diikuti dengan penetapan anggaran. Bahkan, tahun ini dinas kesehatan setempat hanya mengusulkan anggaran Rp 500 juta untuk menangani balita gizi buruk sebanyak 144 anak dengan asumsi per hari per anak Rp 10.000,00.
Sedangkan nasib 940 balita yang mengalami gizi kurang tahun lalu belum diketahui. Apakah mereka juga mendapat makanan tambahan atau tidak, belum jelas. Menyusul penetapan KLB ini, Bernad Pelle bersama Asisten II, kadis kesehatan dan sejumlah staf melakukan penyisiran di RT 14-13, RW 5, Kelurahan Metina. Mereka bermaksud melihat empat orang balita yang juga terserang gizi buruk dan dua anak lainnya yang menderita marasmus. Diperkirakan angka ini akan meningkat jika penyisiran dilakukan secara terfokus dan sungguh-sungguh.
Keempat balita di Kelurahan Metina, yakni Ivan Henukh (1,1 tahun) menderita marasmus kwashiorkor, Kartika Selak (2 tahun) gizi buruk, Wilhelmina Manehat (1,5 tahun) gisi buruk dan Rehan Manehat (5 bulan) mengalami gizi buruk. Keempat balita ini tiga, di antaranya kecuali Kartika Selak, dilarikan ke RSUD Ba'a untuk mendapat pertolongan.
Penetapan kasus gizi buruk menjadi KLB tersebut juga diusulkan anggota DPRD setempat, Djanu D Ibrahim Manafe, yang telah mengunjungi sejumlah rumah penduduk yang anak-anaknya terserang busung lapar. "Pemerintah semestinya membuka mata dan serius mengurus para balita yang menderita gizi buruk. Kasus ini harus ditetapkan menjadi KLB sehingga pengurusannya lebih fokus. Jangan setiap hari hanya berkutat masuk kampung keluar kampung mengurus politik, sementara penderitan masyarakat tidak dilihat. Kasihan, anak-anak tak berdosa ini meninggal karena kekurangan makanan," kata Djanu D Ibrahim Manafe saat menghadiri pemakaman Mikael Ukad (1 tahun), Kamis (6/3/2008). Ukad meninggal karena busung lapar, Selasa (4/3/2008) lalu.
Manafe juga mengritik kinerja pemerintah setempat yang tidak komprehensif menangani kesehatan masyarakat sehingga angka kesakitan, khususnya kepada anak-anak terus meningkat. "Banyak faktor yang mempengaruhi angka kesakitan pada anak-anak dan masyarakat, selain karena kondisi ekonomi yang terlilit juga kesejahteraan para tenaga medis yang sering diabaikan sehingga sangat berpengaruh kepada kesehatan anak-anak dan masyarakat," tambah Manafe.
Ia juga meminta pemerintah agar menetapkan anggaran untuk penanganan balita gizi kurang, gizi buruk sehingga para balita bisa keluar dari deraan masalah kekurangan makanan dan sakit yang berkepanjangan. "Dana silpa jangan digunakan dulu untuk jalur lingkar selatan karena itu belum terlalu urgen. Uang itu digunakan untuk menangani anak-anak gizi buruk. Jangan kita hanya bangun fisik, namun pembangunan manusia tidak jalan," kritiknya.
Sementara itu Wabup Bernad Pelle berjanji akan melakukan rapat koordinasi bersama lintas dinas terkait untuk membicarakan kondisi ini. Menurut Bernad Pelle, tingginya angka penderita gizi buruk di Kabupaten Rote Ndao bukan saja karena anak-anak kekurangan makanan, namun juga karena perilaku orangtua yang suka membiarkan anak-anaknya di rumah sendirian dan tidak memperhatikan asupan makanan yang bernilai gizi.
"Banyak hal yang menjadi penyebab anak-anak menderita gizi buruk. Jadi bukan hanya kurang makan saja. Para orangtua yang dengan pendidikan terbatas sering membiarkan anak-anak mereka tinggal di rumah sendirian saling asuh antara kakak dan adik. Sementara orangtuanya pergi kebun. Hal ini yang berakibat buruk pada anak karena anak kurang terawat, baik makannya maupun kesehatan mereka," kata Bernad Pelle.
Meski begitu, Bernad Pelle mengatakan bahwa pemerintah akan segera melakukan penanganan secara komprehensif dengan memanggil para orangtua atau melakukan pendekatan ke rumah-rumah orangtua yang anaknya menderita gizi buruk untuk penanganan secara bersama.
Diberitakan sebelumnya, pada Januari-Februari 2008 sebanyak tiga orang balita meninggal karena busung lapar. Kini, memasuki awal Maret 2008 bertambah lagi dua pasien busung lapar yang meninggal setelah dirawat selama sepekan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ba'a. (iva)

Butuhkan dana Rp 50 M
KEPALA Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi NTT, dr. Stef Bria Seran, mengatakan, untuk menangani kasus gizi buruk di NTT, dibutuhkan dana sekitar Rp 50 miliar. Besarnya dana ini berdasarkan data yang dihimpun dari 20 kabupaten/kota sejak Januari 2007 hingga akhir Februari 2008.
Bria Seran yang dihubungi di ruang kerjanya, Kamis (6/3/2008), menyebutkan bahwa saat ini terdapat 497.777 bayi di bawah lima tahun (balita) mengalami gizi buruk. Dari jumlah balita 497.577 di NTT, kata dia, balita normal sebanyak 416.197 (83,64 %), balita gizi buruk (malnutrition) sebanyak 81.380 (16,36%), balita kurang gizi (under nutrition) sebanyak 68.873, balita gizi buruk dan komplikasi (malnutrition/out complication) sebanyak 12.340. Sedangkan balita penderita busung lapar sebanyak 167 anak.
Ditanya kabupaten mana dengan jumlah penderita gizi buruk terbanyak, Bria Seran mengatakan, kasus gizi buruk merata di semua kabupaten dan kota di NTT. Soal dana penanganan gizi buruk, Bria Seran menjelaskan, sebelumnya dinkes propinsi mendapat bantuan dana penanganan gizi buruk dari departemen kesehatan (Depkes) di Jakarta.
Namun sejak tahun 2005 sampai dengan saat ini depkes tidak lagi memberikan bantuan dana itu. "Kami sudah mengajukan permohonan dana itu terus-menerus, namun belum ditanggapi depkes," katanya.
Terkait dengan penanganan gizi buruk yang membutuhkan dana Rp 50 miliar, Bria Seran mengatakan, untuk balita kurang (under nutrition) dibutuhkan dana sekitar Rp 24 miliar, balita gizi buruk dan komplikasi dibutuhkan dana sekitar Rp 3 miliar. Sedangkan untuk balita gizi buruk ditambah dengan biaya perawatan dibutuhkan dana sekitar Rp 233 juta. "Dana yang dibutuhkan secara keseluruhan diperkirakan sejumlah Rp 50 M. Dana ini dipakai untuk memberikan makanan tambahan dan biaya perawatan kepada balita sesuai dengan data yang ada di dinkes sekarang," katanya.
Bria Seran menjelaskan, bila kasus itu terjadi di daerah, maka diharapkan pemerintah kabupaten/kota menyiapkan anggaran terutama di pusat-pusat rehabilitasi gizi. Sebab bila tidak ditangani, maka kasus ini akan terjadi berulangkali. "Hal yang paling utama untuk mengatasi kasus gizi buruk adalah ketahanan makanan rumah tangga. Dan, hal ini perlu adanya kerja sama antara sektor-sektor terkait seperti dinas peternakan, pertanian, perkebunan dan perikanan," katanya.
Bria Seran menambahkan, kasus busung lapar ini terungkap sejak tahun 2005 hingga saat ini. Jika anak-anak yang mengalami gizi kurang tak segera ditangani akan mengalami gizi berat kemudian menderita busung lapar. Jika tidak segera ditangani secara cepat akan mengakibatkan kematian pada balita. (den)

Tidak ada komentar: